Cerita sebelumnya:
Milah (3)
Aku masih bingung ada apa sebenarnya yang terjadi. Aku langsung saja turun setelah menonaktifkan dulu mesin motorku dan berlari sambil membawa kursi roda menuju rumah Milah. Aku berdesakan, menerobos warga yang berkumpul dan memasuki halaman rumah Milah. Aku kaget, terperangah, bingung, bimbang, sedih bercampur. Tak kusangka dan kuduga, aku melihat Milah mengucurkan darah dari kepala, hidung dan mulutnya. Banyak warga yang menangis melihat Milah yang sedang dipangku oleh ibunya dan dikerumuni para ibu-ibu warga desa Ngembal. Aku terdiam, bingung, sedih, dan kaget bercampur lagi jadi satu. Kursi roda yang kujanjikan untuknya terlepas dari genggamanku dan jatuh tepat dibawah Milah yang dipangku oleh ibunya dengan berpeluh pilu yang mendalam sebagai seorang ibu.
“Milah telah tiada, dia meninggal karena terjatuh dari kursi diteras depan rumahnya, setelah itu dia bergulung-gulung, menuruni anak tangga dibawah teras, kemudian tersungkur, dan mengeluarkan banyak darah dari kepala, hidung, dan mulutnya. Setelah itu dia kejang-kejang, lalu lemas tak bergerak” seru salah satu warga yang melihat kejadian itu. Aku hanya tersentak begitu cepatkah Milah tiada. Aku berjalan mundur dan dipegang oleh penjual warung kopi yang tadi. Penjual tersebut berkata,” Milah telah tiada”.
Dengan bercampur sedih aku bertanya,” Kenapa dan apa yang telah terjadi sebelumnya, sehingga Milah………..” tak kuasa aku menahan sedihku. Penjual tersebut menjawab dengan meneteskan airmatanya,” Milah terjatuh dari kursi, kemudian menuruni anak tangga dengan bergulig-guling”.
Aku dan banyak warga lainnya sama menangisnya karena sedih melihat anak sekecil Milah yang tiba-tiba tiada. Aku juga melihat Risma, teman Milah yang baik itu menangisi kepergian Milah dengan berderai-derai air mata.
Aku berjalan sempoyongan meninggalkan kerumunan warga didepan rumah Milah. Aku terdiam dan sadar, ternyata Milah meninggalkanku hanya selang waktu 2 jam saja. Seketika itu pula aku berlari dan bertanya pada Tuhan,” Apa salah Milah, Tuhan? Kenapa Engkau ambil dia sebelum ia mendapatkan banyak kawan bermain? Kenapa Tuhan, kenapa?” protesku terhadap Tuhan dalam hati.
Tidak ada jawaban,
aku hanya diam dan merasakan
bahwa:
rasa sayangku pada Milah, sama seperti rasa sayang Ibunya dan semua warga kepadanya. Kecuali teman sepermainannya.
Kamar, Juli 2007
By: Ahmad Sayuthy
Click for Komentar