Cahaya Rani (1)
Di sela-sela kebahagiaan para orang tua murid dan anaknya, tampak seorang anak yang sedang murung, di bangku depan ia melamun. Gadis manis itu tersentak kaget ketika namanya dipanggil untuk menerima ijazahnya. Setelah ia menerima ijazahnya ia bergegas menghampiri ibunya yang menunggu di luar kelas. Dengan senyum manis di pipinya ia memberikan ijazah itu kepada ibunya, seraya berkata” mak, nilaiku bagus ...”, ibu yang dipanggilnya emak itu kemudian tersenyum, tak lama kemudian raut mukanya kembali murung.” Sudah selesai kan nduk?” tanyanya kepada anaknya. Anaknya hanya mengangguk.” Ayo Ran kita pulang!” Ajak ibu itu kepada Rani. Rani menurut, kemudian ia bergegas pulang.
Mereka pulang naik angkot, setelah cukup lama menunggu angkot, sebuah angkot berwarna kuning pun menghampiri mereka. Angkot itu ramai, sehingga Rani dan ibunya harus berdesak-desakan di sela-sela orang. Di dalam angkot itu mereka hanya terdiam, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tiba di sebuah gang kecil, Rani menyuruh sopir angkot itu berhenti. Rani membayar angkot itu kemudian mereka berjalan menyusuri gang kecil itu. Tiba di sebuah rumah kecil, berhalaman cukup luas mereka masuk. Di ruang tamu, ada seorang bapak yang duduk di kursi usang. Kursi itu sudah bolong kain pembungkusnya.” Bagaimana nilaimu Ran?” tanya bapak itu kepada Rani, anaknya.” Bagus pak, Rani rangking 1 di kelas.” Jawab Rani sambil tersenyum pada bapaknya. Itu memang menyakitkan bagi Rani, memiliki nilai bagus, tapi tidak memiliki biaya untuk melanjutkan. Ibu yang ada di belakang Rani menyahut,” Untuk apa sih nduk, nilaimu bagus kalau akhirnya kamu gak akan bisa melanjutkan sekolahmu?” Perkataan itu menyentakkan bapak dan Rani. Memang Rani adalah anak satu-satunya, tentunya ibu merasa sangat kecewa karena tidak bisa menyekolahkannya. Bapak yang duduk, kemudian bangkit dan marah karena perkataan ibunya.” Kamu itu lho... emak macam apa? Anak lulus, bukannya kamu bahagia malah ngomel-ngomel semaumu, anakmu setelah ini kan bisa kerja” kata bapak pada ibunya. Kerja apa? Pak? Kerja apa? Wong yang sarjana saja banyak yang gak bisa kerja? Ibu yang memendam rasa sedih itu kemudian menangis,” Hah... kamu itu tau apa?” Bapak yang kemudian marah itu meninggalkan ruang itu. Rani kemudian memeluk ibunya yang menangis, ia ingin menenangkan ibunya, tapi ia hanya anak kecil, kemudian ia berkata” Mak, jangan menangis, Rani gak papa kok gak sekolah, sudah ya mak jangan menangis. Kemudian ibu itu memeluk anak kesayangannya.
Keesokan harinya pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi antara emak dan bapaknya. Rani menjadi tidak betah dengan keadaan seperti itu. Kemudian ia memutuskan untuk mencari pekerjaan. Ia bertemu dengan temannya, temannya mengajak Rani bertemu dengan ayah Ijah, Ijah sudah lama bekerja di Surabaya. Mendengar cerita Rani, Ijah kasihan kemudian berjanji mencarikan pekerjaan Rani. Rani pulang, dengan agak lega, ia berharap sesudah ini ayah dan ibunya tidak bertengkar lagi. Keesokan harinya setelah mendapat kabar baik dari Ijah, Rani menyampaikan kabar baik itu kepada ibunya. Ibunya menyuruhnya bertanya dulu ke Bapak, apakah beliau setuju atau tidak. Rani bertanya pada bapaknya, bapak mengijinkan. Rani pun berkata,” besok pagi jam 9 mbak Ijah akan jemput Rani pak”. Bapak hanya menjawab dengan 1 kata,” Iya”. Besok paginya tepat jam 9 Ijah sudah sampai di rumah Rani. Dengan berlinang air mata emak melapas kepergian anak satu-satunya itu, sementara bapak ia terlihat lebih tegar, meskipun sebenarnya dia juga merasakan kesedihan. Dalam pikiran laki-laki itu ia menginginkan anaknya sukses. Keberangkatan Rani dipenuhi dengan petuah-petuah dan nasehat dari kedua orang tuanya. Ia pun berangkat.
Dalam bus Rani hanya terdiam, Ijah mencoba menghiburnya dengan mengatakan beberapa hal tentang Surabaya. Tak terasa bus telah membawa mereka ke Surabaya. Tiba di pemberhentian bus Ijah menelepon ke rumah tuannya. Setelah beberapa lama menunggu tiba sebuah mobil bercat hitam menghampiri mereka. Orang di dalam mobil itu menyuruh mereka masuk. Dari perbincangan Ijah dan orang itu, Rani tahu bahwa orang itu adalah sopir. Mobil itu terus melaju melewati jalan di kawasan perumahan elite. Rani kagum melihat rumah-rumah yang berdiri kokoh. Sangat berbeda dengan keadaan rumahnya di desa. Sampai di sebuah rumah besar bercat orange, berpagar coklat, pak sopir membelokkan mobil. Ia membunyikan klakson, lalu dari balik pagar ada orang yang membukakan pagar itu. Baru turun dari mobil Rani segera diajak oleh Ijah untuk menemui tuannya. Kebetulan sore itu hanya ada majikan perempuannya. Perempuan itu cantik, dalam hati Rani kagum, ternyata kuasa Tuhan sangat besar, ia menciptakan seorang perempuan berwajah amat cantik. Sampai di depan perempuan itu Ijah berkata,” Ini bu, orangnya”, Rani tersadar dari lamunannya kemudian mengulurkan tangannya. Uluran tangannya disambut dengan hangat oleh wanita itu, seraya berkata,” Rani saya harap kamu bisa bekerja dengan baik”. Rani dengan gembira segera menyahut” Iya Nya...”. Perempuan itu keberatan lalu berkata pada Rani,” Jangan panggil saya Nya, panggil saja seperti Ijah”, Rani mengangguk seraya berkata” Iya Bu”. Setelah disuruh, Rani mengikuti Ijah yang menunjukkan kamarnya. Kamar itu kecil, namun tertata rapi.” Semoga kamu betah ya kerja di sini”, kata Ijah tiba-tiba,” Iya mbak” jawab Rani.” Bapak dan Ibu, majikan kita itu baik, gak galak kok Ran,” kata Ijah menambahi.” Iya mbak, terima kasih ya mbak, tapi mbak tuan kerja jadi apa mbak?” Tanya rani.” Bapak kerjanya jadi arsitek, kalau Ibu, dia bisnis perhiasan”, jawab Ijah. Rani mengangguk-angguk tanda mengerti.” Sudah Ran, sudah malam, kamu istirahat saja, besok pagi-pagi bangun, tugas kamu bersih-bersih rumah ya!” kata Ijah.” Iya mbak”, jawab Rani.
Label: Cahaya Rani, Cerpen
Click for Komentar