Cerita sebelumnya:
Dilema Cinta (2)
Seminggu telah aku lalui tanpa ada beban yang begitu berat. Aku mulai akrab dengan serbuk putih itu. Aku tahu apa yang kulakukan salah, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Serbuk itu telah menghipnotisku. Menghilangkan semua masalahku, walau hanya sesaat.
Hari ini aku mengantar bunda ke sekolahku. Bunda ke sekolah bukan karena aku sedang dihukum, tapi hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Hatiku berdebar. Aku melihat kecemasan di wajah bunda. Selama ini prestasi belajarku memang tidak bisa dibanggakan. Aku sangat takut. Takut kalau aku tidak lulus. Takut kalau membuat bunda sedih. Dan takut kalau membuat ayah marah.
Setiap detik aku berdoa. Aku benar-benar takut. Kudengar dewan guru memanggil namaku dan memberi selembar kertas kepada bunda. dengan pelan-pelan bunda membuka kertas itu. Kulihat wajah bunda berseri-seri dan matanya berkaca-kaca. AKU LULUS. Bunda memelukku dengan erat. Aku tak henti-hentinya berucap syukur. Terimakasih Tuhan. Terimakasih karena Kau telah mengabulkan doaku.
Malam harinya, kami sekeluarga merayakan kelulusanku. Walau aku lulus, tapi tak kudengar ayah memberiku sebuah ucapan selamat padaku. Walau begitu aku sudah bersyukur karena hari ini ayah tidak memukul bunda. Kami membicarakan masa depanku. Bunda menyuruhku untuk melanjutkan ke universitas negeri yang ada di kotaku. Kota yang terkenal dengan kota pendidikan. Ada juga yang menyebut kotaku dengan kota bunga.
Ayah tak yakin dengan kemampuanku, bahkan dia berkata seandainya aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri, ayah berani meminum air seniku. Aku sendiri memang tak yakin, tapi bunda terus memberiku semangat. Aku ingin membahagiakan bunda.
Esok harinya, aku bersama sahabatku Desta pergi untuk mendaftar di universitas negeri yang banyak diminati. Di sana kami bertemu dengan teman sekolahku. Rupanya mereka juga ingin sekolah di sini. Kami semua sibuk mengisi lembar pendaftaran. Kulihat seorang gadis yang dengan asyik mengobrol dengan temannya sambil mengisi lembar pendaftaran. Wajahnya tak begitu asing bagiku. Aku mencoba untuk mengingatnya.
Ya! Aku ingat sekarang. Dia adalah Amelia Putri, gadis yang pernah menarik hatiku sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Aku tak percaya kalau aku bisa bertemu dia lagi. Sudah tiga tahun aku tak pernah melihatnya. Dia tak banyak berubah. Dia masih cantik seperti dulu, wajahnya masih kelihatan imut, hanya rambutnya sekarang lebih panjang. Tanpa banyak berpikir aku langsung menghampirinya dan menyapanya.
“Hai, apa kabar?” Amel sedikit terkejut dengan kehadiranku.
“Kamu Ega kan? Hai, kabarku baik, kamu sendiri gimana?”
“Aku juga baik. Kamu juga daftar di sini Mel?”
“Iya, kamu juga kan?”
Aku menganggukan kepalaku. Setelah kami selesai mengisi lembar pendaftaran, aku mengajaknya mengobrol sambil makan siang. Teman-teman Amel sudah pulang duluan dan Desta juga sudah kusuruh pulang. Aku hanya ingin mengobrol berdua dengan Amel. Aku ingin melepas rasa rinduku selama ini.
Aku tak henti-hentinya memandang wajahnya yang cantik. Pipinya yang cabi membuat wajahnya telihat imut. Senyumnya manis sekali. Kami menghabiskan waktu makan siang dengan mengobrol tentang masa lalu. Sesekali kami tertawa sampai menjadi pusat perhatian pengunjung lainnya. Hari ini aku bahagia.
Malam semakin larut. Aku berdiri di dekat jendela kamarku sambil memandang ke atas langit. Kulihat banyak bintang yang berkedip dan bulan sabit yang tersenyum padaku. Aku membayangkan bintang dan bulan itu adalah Amel yang sedang berkedip dan tersenyum padaku. Entah kenapa hatiku terasa damai saat bertemu dengannya. Terimakasih Tuhan, hari ini Kau telah mempertemukanku dengan dia.
Pagi-pagi aku terbangun, aku mendengar ayah sedang bertengkar lagi dengan bunda. Aku tak berani keluar dari kamarku. Aku mendengar bunda menumpahkan secangkir kopi dibaju ayah. Suara ayah yang sedang membentak bunda terdengar sampai di kamarku dengan jelas sekali. Aku kasihan melihat bunda. Kapan ayah akan berhenti bersikap kasar pada bunda?
Dari dulu ayah memang tidak pernah mencintai bunda. Ayah menikah dengan bunda karena mereka dijodohkan oleh nenek. Dulu bunda bekerja diperusahaan milik ayah. Sudah hampir berumur tiga puluh tahun, tapi tak satu kalipun ayah memperkenalkan teman wanitanya kepada nenek. Di umur tiga puluh tahunnya, nenek menyuruh ayah untuk menikahi bunda. Aku tahu, ayah terpaksa menikahi bunda, karena ayah ingin menunjukkan kalau dia adalah lelaki normal. Tapi sampai saat ini aku tak pernah melihatnya menyukai seorang perempuan. Pernah sekali aku melihat ayah akrab dengan lelaki teman bisnisnya. Sikap mereka tak wajar. Mereka tak seperti rekan bisnis. Pernah terpikir dibenakku kalau ayah seorang homo. Pahit memang, tapi apapun yang terjadi dia adalah ayahku. Aku harus menerima kenyataan ini.
Setelah tak kudengar suara bentakan ayah, aku beranikan untuk ke luar kamar. Ayah hanya melirikku saat aku lewat di depannya. Aku langsung pergi ke kamar mandi, karena hari ini aku ada janji dengan Amel untuk belajar bersama. Tiga hari lagi kami ujian SPMB.
Label: Cerpen, Dilema Cinta
Click for Komentar