So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 15/06/13 | @ 10.52

Cerita sebelumnya:


Milah (2)

Sementara Jono , Risma, dan Hadi sedang bertengkar. Teman-temannya yang sibuk dengan mainannya sendiri-sendiri terdiam dan memperhatikan ke arah mereka bertiga dengan serius.

Risma mulai menangis dan berkata,” Heh Jono, kamu sama saja dengan Hadi. Dasar anak laki-laki, maunya menang sendiri! Kalian berdua sombong! Aku tidak mau main dengan kalian! Aku benci kalian! Huh!” sahut Risma dengan keras dan kemudian meninggalkan mereka.

Aku hanya kaget atas suara tadi, begitu angkuhnya semua teman Milah termasuk Jono dan Hadi yang tega membiarkan Milah sendirian dan tidak diajak bermain, serta masih saja mengolok-olok Milah dengan kata-kata yang tak seharusnya keluar dari mulut anak-anak usia 7-8 tahunan. Kecuali Risma yang bertentangan dengan Jono dan Hadi.

Risma terlihat berlari pulang kerumahnya sambil menangis terisak-isak karena dimarahi dan ditentang oleh Jono dan Hadi. Seketika itu pula Jono, Hadi dan kawan-kawannya yang lain bermain lagi tanpa menghiraukan Milah dan Risma.

Entah Milah dan ibunya mendengar perkataan itu atau tidak. Yang aku tahu Ibunya sedang menenangkan Milah supaya tidak menangis lagi. Aku yang tidak tega atas hal yang terjadi padanya, bergegas menuju rumahnya. Di sana ia masih terisak-isak sambil tersenyum simpul. Meskipun sebenarnya tidak terima atas perlakuan teman-temannya. Tak disangka Milah adalah gadis kecil yang sangat manis, lugu, dan periang, walaupun cacat. Tak menunggu lebih lama lagi, segera ku angkat dia dan ku janjikan padanya bahwa ia akan punya banyak teman dan aku berkata pada Milah dan ibunya bahwa aku akan membelikan sebuah kursi roda untuknya agar dia bisa berjalan dan bermain sesuka hatinya meski tidak bermain dengan teman-temannya.

Tak lama kemudian, setelah berjanji pada Milah dan ibunya, aku segera menuju warung kopi untuk membayar wedang kopiku dan sedikit gorengan. Setelah itu, aku bergegas menaiki sepeda motorku dan menancapkan gas kemudian hilang dengan sekejap dibalik pagar tanaman yang tumbuh subur dipinggiran jalan desa.

Siang hari di bawah terik sinar matahari yang memaksa keringatku untuk keluar dan membahasi kulit tubuhku. Tapi, aku tak menghiraukannya. Dalam perjalanan yang sangat macet di jalan raya menuju rumah sakit, aku berpikir tentang Milah yang diperlakukan tidak selayaknya oleh teman-temannya dengan olok-olokan yang memerahkan telinga.” Kenapa bisa begitu tega teman-temannya membiarkan Milah sendirian tanpa diajak bermain sedikitpun” keluhku dalam hati. Dalam waktu yang sama aku berusaha secepatnya menuju rumah sakit untuk membelikan sebuah kursi roda untuk Milah. Meskipun jalan yang aku lewati sangatlah macet.

Sementara jalan raya yang sesak dengan kemacetannya, aku yang lelah menunggu. Langsung saja keluar dari jalan yang seharusnya kulewati, aku masuk dan melewati jalan-jalan kampung, yang terpenting dalam pikiranku adalah sampai di rumah sakit dengan cepat.

Setelah melewati jalanan kampong yang berdebu dan berbelok-belok akhirnya sam pai juga aku di rumah sakit. Sesampainya di sana, aku memarkir sepedaku dekat pos satpam dan berkata pada satpam rumah sakit untuk menjagakan sepeda motorku barang sebentar. Kemudian aku turun dari motorku yang sudah tak berdengung lagi, aku berlari dibelokan-belokan kamar rumah sakit menuju loket administrasi. Di depan loket aku disambut dengan pertanyaan hangat dari suster penjaga loket administrasi, dia menyapa,” Selamat siang Pak? Ada yang bisa saya Bantu?” sapanya dengan hangat.

Aku berkata” Sus, saya mau beli kursi roda untuk anak kecil satu buah” dengan kalimat yang tergesa-gesa karena ingat akan penderitaan Milah dibenakku.” Sebentar ya Pak, barangnya masih diambilkan digudang” jawabnya.

Setelah kursi roda yang aku pesan datang, aku bertanya,” Harganya berapa Sus?”. Suster itupun menjawab,” Harganya 150.000 rupiah Pak”.

Tak kulihat lagi berapa uang yang aku keluarkan untuk membayarnya, langsung saja kubayar. Sambil tergesa-gesa dan keberatan aku berkata pada suster itu.” Terima kasih Suster. Ini uangnya” sahutku.

Tak ku ambil kembali uang kembaliannya, kembali aku berlari sambil sedikit keberatan melewati belokan-belokan kamar, dan segera menuju pos satpam. Belum sempat pak satpam berkata, aku langsung saja berterima kasih karena telah menjagakan sepeda motorku barang sebentar. Dengan cepat aku menyalakan sepeda motorku dan menancapkan gas untuk kembali ke rumah Milah, dan membawakan sebuah kursi roda yang telah aku janjikan kepada Milah dan juga ibunya.

Selang waktu 2 jam aku kembali dari rumah sakit dan melewati jalan-jalan berdebu kemudian bertemu dengan kemacetan lagi. Tepatnya pukul 13.45 WIB. Terdengar suara pemberitahuan duka dari speaker di surau desa tempat Milah berada. Tak kudengarkan lagi suara itu, terus saja aku menuju rumah Milah sambil membawa kursi roda yang aku beli untuknya dirumah sakit 1 jam yang lalu. Aku heran kenapa, dan ada apa dirumah Milah?. Banyak sekali orang berkumpul didepannya.

* * * * *
B E R S A M B U N G

Label: ,