Cerita Sebelumnya:
YANG TAK SELESAI (4)
Tak dapat dihindari, seperti wajarnya pembakaran, selalu ditandai dengan asap dan abu. benda legam dan tipis itu beterbangan di daerah sekitar rumah Djati. Cawan hitam di langit Desa Mboce (rumahnya) menampakkan cermin kebrutalan pria berpakaian doreng yang senantiasa mengabdi pada penguasanya. Melihat pembakaran itu, Djati segera terpikir tentang kritikannya pada majalah” Medan Prijaji”. Ternyata jawaban atas tulisannya di majalah itu segera mendapat jawaban yang tak pernah secepat ini ia pikirkan. Tak pernah pria yang mulai memelihara kumis ini merasakan kesedihan mendalam, bahkan ketika hidup lima belas tahun di penjara. Pembakaran kali ini benar-benar membuatnya murka dan hina. Djati yang saat itu hanya diam memandangi rumahnya dari arah kebun tetangga dengan muka memerah mulai merenungi apa yang terjadi. Tak lama setelah itu istrinya lemas dan jatuh pingsan. Sementara kedua anaknya hanya bisa menangisi ibunya yang tergeletak di tanah dan rumahnya yang apinya semakin berkobar.
Tragedi di rumahnya, membuat penulis humanis ini sempat mangkir untuk meneruskan novel ketiga belasnya yang saat pembakaran terjadi berada dalam genggamannya. Ia mulai refreshing dengan melakukan keinginan barunya. Kliping. Ya, mungkin sesuatu ini yang dapat menyembuhkan luka Djati yang semakin melebar akibat gencetan terus-menerus dari penguasa yang saat ini memimpin tanah airnya. Selain itu, pergumulannya dengan guntingan-guntingan informasi ini dianggapnya sebagai konsekwensi pandangannya untuk mencintai tanah air. Ini wajar menurutnya, karena cinta tanah air harus dibarengi dengan pengetahuan tentang sosio-geografi dan sejarahnya. Dan saat ini Djati mencoba untuk itu.
Ia semakin menyeriusi hobi barunya. Gunting dan kroni-kroninya merupakan benda bawaan wajib di dalam tasnya sekarang. Djati mengakrabi gunting bukan sebagai benda semata. Dalam pengertiannya yang harfiah, gunting memang dibutuhkannya untuk melerai dan mencacah informasi yang diperlukannya dari koran yang saban hari terbit. Tapi bukan sekedar itu, gunting adalah simbol pemotongan terhadap ruang, terhadap batasan. Gunting itu adalah kerja. Kerja melawan sejarah. Persis seperti tujuannya selama ini yang digambarkan dalam tulisan-tulisannya.
Pagi ini, pangeran gunting tak hendak meninggalkan kebiasaannya mengkliping. Setelah empat tahun mengkliping, kali ini dia menemukan artikel tentang Aceh. Nama-nama desa di Aceh yang sering diulang-ulang membuatnya bosan dan langsung berpindah ke Gorontalo, salah satu kabupaten di Sulawesi. Suatu kesegaran tersendiri, dengan nama-nama desa yang hampir tak ada yang kembar.
Perjalanan mencitrakan Nusantara dari guntingan koran yang sekarang sudah berumur 21 tahun membuat Djati tak selincah dulu. Kekuatannya perlahan dimakan usia. Sampai pada suatu hari, pria yang semakin menua ini akhirnya menghentikan hobi yang sudah tak lagi baru itu. Ia terbaring lemah di kamar dengan vonis hepatitis stadium empat. Penyakit yang terdeteksi baru-baru ini membuatnya teringat akan perjalanan hidupnya.
Seperti sudah merasa dekat dengan Tuhan, dipanggil dan dipeluknya Sekar yang selama ini tak pernah diperhatikannya.” Maafkan Bapak, Nduk.” ucap bapak yang semakin merenta itu lirih. Hal yang benar-benar baru pertama kali dirasakan Sekar untuk dekat bapak tak dijadikannya sia-sia. Semua anggapan jahat terhadap bapak yang selama ini dipendamnya, lenyap sesaat setelah bapak dan anak itu berpelukan. Seketika itu pula bapak berangkat dengan tenang.
Kereta pagi bulan Juli itu benar-benar membawa jasad sang maestro untuk berangkat selama-lamanya.
Novel ketigabelas yang belum sempat diselesaikannya dibiarkan menjadi yang tak selesai. Namun tidak bagi klipingnya. Impian ensiklopedi citrawi Nusantara harus terwujud. Lebih-lebih ensiklopedi dari kliping yang sudah dikerjakannya selama 21 tahun telah sampai pada penulisan judul terakhir ensiklopedinya. PAPUA. Ya, Papua saudara.. Mungkin kita yang akan meneruskan cita-citanya.
By: Ratih Roudlotul Jannah
Label: Cerpen, Yang Tak Selesai
Click for Komentar