So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 24/06/13 | @ 11.23

Cerita Sebelumnya:


YANG TAK SELESAI (3)

Sementara itu, di sudut rumah seorang napi dengan tuduhan makar atas nama humanisme itu tersudut seorang anak sekitar umur lima belas tahun dengan buku dalam rengkuhannya. Ya, Aji, anak pertama seorang penulis humanis itu.

“Teruslah menulis, Nak.”

“Isi buku harianmu dengan penuh cerita.”

“Wujudkan keinginan Bapakmu agar semua keturunannya selalu menulis.” Begitu lembut dan penuh ketegaran kata-kata yang terucap dari bibir seorang ibu itu. Ucapan itu terus menyokong kemauan bocah yang sudah disunat itu untuk tetap menulis. Tulisannya memang belum bisa dibandingkan dengan bapaknya, namun semangatnya, tak kalah dengan bapaknya yang penuh pengorbanan. Lalu dengan sigap Arjuna kecil itu merangkai kalimat yang selanjutnya telah menjadi sebuah cerita panjang, mengena, dan penuh rasa. Namun, tak berapa lama ia mengalami katarsisnya dalam menulis, ia teringat akan kekejaman sebuah tulisan. Tulisan membuat bapaknya dipenjara, membuatnya terus-terusan diejek oleh guru dan teman sekolahnya tentang status sosial bapaknya yang sedang dipenjara, dan yang paling melelahkan mental adalah membuat semua keluarganya dikucilkan masyarakat. Karena saat itu memang zaman tapol dan keluarganya harus dijauhi.

“Krekkk!” tumpukan kertas yang berisi cerita itu disobek tanpa ampun oleh Aji. Dia tak mau hal yang menimpa bapaknya juga akan menimpa dia, ibunya, maupun Sekar, adiknya. Aji berhenti menulis seketika itu juga. Rupanya, trauma akan tulisan terlihat begitu dalam mempengaruhi pikirannya.

* * * * *

Datang juga masa yang diharapkan Djati, keluar dari ruang pengap yang terus menghimpit itu. Beberapa tulisan dalam kertas kumalnya adalah oleh-oleh terindah yang sejak dulu disembunyikannya dalam penjara.” Sudah saatnya kamu bercerita,” begitu bisik Djati pada tumpukan tulisan yang digenggamnya. Berpamitan dengan semua” crew” penjara menjadi agenda wajibnya hari ini. Maka, dengan setelan kaos putih polos dan pantalon hitam, Djati mengawali langkahnya untuk segera menyongsong keluarganya.

Bangunan mungil yang sekarang dilihatnya ternyata tak berubah banyak sejak ia diculik dan dijebloskan dalam akuarium besi. Gentengnya yang semakin rapuh, membuatnya makin sadar bahwa tidak sebentar ia meninggalkan semua yang dilakukan dulu dalam gubuk itu. Ya, sepuluh tahun memang bukan waktu yang sebentar. Hanya catnya yang terlihat beda. Selebihnya, tidak.

Pagi itu Hasanah sedang sibuk dengan adonan kue yang sebentar lagi akan dijual anaknya. Waktu matang yang cukup lama membuat wanita bermata teduh ini menyelinginya dengan membuat pepes tahu.” Bu..” suara agak berat itu sontak mengagetkan Hasanah. Jantungnya mulai berpacu dengan berbagai pertanyaan yang segera muncul. Sosok kekar seorang suami yang dari dulu dirindukannya saat itu benar-benar nyata muncul dihadapannya. Dengan erat wanita yang semakin terlihat kurus itu merengkuh ketegapan badan sang suami. Aji berlari mendekat pada dua orang yang dikenalnya itu. Tak salah, itu bapak, pikir Aji cepat. Pertemuan mengharukan itu ternyata tak lantas membuat Djati terlarut dalam suasana. Cepat-cepat ia membuka tumpukan kertas yang sedari tadi digenggamnya untuk segera diteruskan ceritanya. Sekar, gadis mungil yang sudah lama rindu kehadiran seorang bapak hanya mematung di pojok pintu kamarnya. Rupanya Djati hanya berkata” O, ini anak saya” untuk mengawali perkenalan dengan anak keduanya, Sekar. Perkenalan dingin itu otomatis membuat Sekar cukup kecewa. Bapak yang selama ini didambakannya bijaksana dan penyayang, ternyata nol besar, pikirnya. Peristiwa mengecewakan ini ternyata tak membuat gadis berumur sepuluh tahun itu menyerah untuk mendapatkan kasih sayang bapak yang selama ini diimpikannya. Dasar seorang Djati, bagaimanapun keadannya, dia tidak akan mengubah sikap diamnya. Satu-satunya hal yang cukup membuatnya berbicara pada Sekar adalah saat dia menyanyakan isi buku harian yang mestinya sudah sejak dulu ditulis. Hanya itu. Selebihnya, bapak yang cukup keras itu akan memanggil Sekar bila perlu.

Kebebasan sang penulis itu ternyata tak sepenuhnya bebas. Kewajiban melapor dengan membawa berkas-berkas persyaratan benar-benar tidak membuatnya nyaman. Djati semakin tertekan dengan kebebasan semunya. Bagaimana tidak, kewajiban dan syarat-syaratnya untuk melapor semakin lama semakin menyusahkan. Saat ini hanya kekuatan tulisan yang dipunyainya. Untuk alasan itu, Djati pun menulis kembali dimajalah Medan Prijaji. Bedanya, kali ini bukan menulis opini, tapi kritiknya terhadap birokrasi kepolisian yang mempersulit pelayanan mantan tahanan yang wajib lapor. Penguasa kejawen yang mendengar kabar itu pun murka. Kantor penerbitan majalah itu ditutup seketika dan Djati pun akan segera menerima konsekwensinya. Majalah yang pendistribusiannya mencapai wilayah Jakarta dan beberapa kota didekatnya itu benar-benar jalan bagi Djati untuk menemui sekali lagi perlakuan sewenag-wenang penguasa bangsanya.

“Kerjakan dengan baik” ucap pria yang tampaknya sebagai seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Asisten pria itu mulai menghubungi pasukan doreng untuk segera menindak perintah penguasa. Mula-mula, dibabatnya habis bermacam tumbuhan yang ada di rumah Djati.” Brakkk!” pintu rumah Djati mulai didobrak. Disobekinya bermacam buku yang ditemukan di sana, tak luput pula semua mahakaryanya, novel. Dengan wajah kesombongan dan penuh tawa, pria-pria berseragam itu mulai menyiram segala sudut ruangan di dalam mamupun luar rumahnya dengan minyak tanah. Bakhan mereka tak menyisakan apapun, tak terkecuali sebuah perpustakaan kecil di samping rumahnya, lenyap terbakar. Sebelas novel yang dikerjakan bertahun-tahun bahkan tak tampak abunya karena bercampur dengan abu-abu yang lain.

* * * * *
B E R S A M B U N G

Label: ,