Gerimis Senja (1)
Dingin malam menusuk belulangku. Sum-sumku berontak, memaksaku untuk menaikkan resleting jaket biru yang kukenakan. Kopi jahe di cangkir yang tadinya mengepulkan asap, kini tak lagi dapat membantu menghangatkan tubuh. Hanya kegelapan yang menyelimuti sekitarku. Satu-satunya sumber cahaya datang dari layar laptop yang ada di hadapanku. Kosong. Aku tak sedang mengerjakan tugas apa-apa. Jikalau pun iya, itu telah kuselesaikan tak kurang dari dua jam yang lalu. Kubiarkan slide-slide gambar muncul begitu saja dari layar. Pikiranku sedang tak di sana. Jiwaku sedang melanglang buana menjelajah luasnya dunia.
Kutatap lekat layar kosong di hadapanku. Belum ada ide dalam otakku yang mampu memaksa jemariku menyentuh keyboard. Biasanya aku betah melek di depan laptop karena dua hal. Pertama, harus menyelesaikan tugas yang wajib dikumpulkan esok pagi. Kalaupun tidak, pasti ngegame. Itu saja.
Hampir dua tahun aku menumpang hidup di rumah yang sering disebut dengan kos-kosan ini. Namun, bukan berarti aku mengenal jelas siapa penghuni tiap-tiap kamarnya. Ya, karena aku paling malas kalau harus nonggo hanya sekedar untuk berbasa-basi. Apalagi kalau harus bergosip seperti ibu-ibu di sekitar kosanku. Aku menjalankan rutinitasku layaknya sebuah mesin yang selalu bekerja. Bangun siang (pagi hanya jika ada kuliah yang tak bisa kutinggalkan). Mandi dan sarapan (jika sempat). Dan tentu saja kuliah karena tujuan utamaku ke sini adalah untuk hal itu.
Seusai kuliah bukan berarti aku langsung pulang begitu saja. Sejak tiga bulan pertama kukenal kota ini, aku memutuskan untuk bekerja paruh waktu di sebuah toko buku. Selain untuk menambah jatah uangku, itung-itung aku bisa membaca buku gratis di sana. Minimal setelah maghrib aku baru bisa merebahkan puggungku yang seharian menopang tubuhku. Itu saja jika kiriman buku baru tidak datang dari Jakarta. Jika iya, maka aku harus lembur mencatat katalog buku dalam komputer. Dan dapat dipastikan pula aku harus rela pulang larut. Di dalam kamar pun, aku tak bisa langsung tidur begitu saja. Aku harus menyelesaikan tugas-tugas kuliahku yang dari hari ke hari makin menggunung.
Kusentuh mouse dan kutekan jari tengahku tepat pada pojok bawah layar laptopku. Kupilih kata explore, kemudian folder AYU PRAMESWARI. Terlihat banyak folder di dalamnya. Kuarahkan gambar panah kecil pada laptop pada file berjudul ‘goresan wajah’. Muncul puluhan gambar berukuran kecil di sana. Kuklik dua kali gambar berjudul ‘my lovely’. Sepersekian detik kemudian gambar itu telah memenuhi layar laptopku. Ada gambar empat orang di sana dengan tawa mengembang di bibirnya. Tampak seorang lelaki separuh baya sedang duduk di kursi. Rambutnya terlihat memutih, meskipun tidak semuanya. Kumisnya tercukur rapi. Dan badannya masih terlihat tegap walaupun ia tak lagi muda. Di pangkuannya terdapat seorang gadis remaja sedang duduk manja. Mungkin berusia 17 tahunan. Berambut hitam sebahu. Wajahnya cukup manis dengan tahi lalat di atas bibirnya. Sedangkan di belakang laki-laki itu masih ada dua orang lagi. Seorang perempuan setengah baya pula dan seorang laki-laki remaja. Perempuan dengan rambut berombak. Kerut-kerut di wajahnya tak menghilangkan sisa kecantikannya di masa muda. Dan laki-laki remaja itu berambut hitam dengan potongan khas anak muda. Tampaknya ia berusia lebih tua dibandingkan dengan gadis yang duduk di pangkuan. Sebuah foto keluarga yang sangat bahagia. Begitu harmonis. Benarkah?
Ingatanku melayang jauh ke masa 4 tahun yang lalu. Ketika hari itu aku genap berusia tujuh belas tahun yang kata orang merupakan angka sakti karena di usia itu seseorang dapat dikatakan sudah dewasa. Sore itu ibu memasak nasi kuning dan opor ayam kesukaanku.
“Yu, panggil masmu dan bapak. Bilang kalau masakannya sudah siap!” perintah ibu padaku yang saat itu sedang menata meja makan. Aku segera berlari ke arah ruang televisi. Bapak nampaknya tengah sibuk membantu Mas Bimo membuat maket rumah untuk tugas kuliahnya di awal tahun ini.
“Pak, Mas, sudah dulu. Dipanggil ibu tuh! Ayu juga udah laper.” Kataku sambil merengek manja. Kami bertiga bergegas berlarian menuju meja makan. Bau masakan ibu semakin membuat kami bersemangat.
“Yu, sekarang kamu udah gede. Harus bisa jaga diri sendiri yo?Boleh pacaran tapi jangan kelewatan. Bapak, ibu, dan masmu cuma bisa kasih nasehat. Selebihnya kembali pada dirimu sendiri.” Itulah wejangan bapak yang paling kuingat. Setidaknya dulu.
Memang, semua rahasia kehidupan ada pada Tuhan. Canda tawa bahagia seperti itu ternyata tak dapat kujumpai lagi setahun kemudian. Bahkan hingga saat ini. Bagaimana tidak? Hanya berselang satu bulan sebelum aku menghadapi ujian kelulusan. Suatu siang sepulang les, kutemukan ibu dengan mata sembab. Kukira karena ibu kangen mbah uti yang sudah tiga bulan tidak kami kunjungi. Kubiarkan saja ibu sendirian karena aku tak ingin mengganggu beliau.
Sebulan terakhir, jarang kudapati mas Bimo pulang ke rumah. Kalaupun iya, paling hanya sebentar. Menengokku di kamar tanpa bicara sepatah katapun. Bila kutanya, pasti dia akan menjawab dengan singkat. Ibu jadi murung. Ketika berkumpul di meja makan pun jarang muncul percakapan-percakapan penghangat suasana seperti biasanya. Beberapa kali kupergoki bapak dan ibu sedang bicara dengan serius. Aku tak mau ikut campur karena kurasa itu adalah urusan mereka sebagai orang tua.
“Mas Bimo nyadar ga kalau akhir-akhir ini ibu kelihatan beda?” tanyaku pada mas Bimo ketika ia terburu-buru hendak pergi. Mas Bimo menatapku sebentar, kemudian menjawab dengan singkat.
“Ga.”
Label: Cerpen, Gerimis Senja
Click for Komentar