Cerita sebelumnya:
Gerimis Senja (2)
“Apa jangan-jangan bapak sama ibu sedang bertengkar ya, Mas?” tanyaku kembali. Aku duduk di smaping masku yang sedang memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya. Tapi mas bimo diam saja.
“Aneh banget lho, Mas! Ga biasanya bapak dan ibu kayak gini. Apa jangan-jangan ini yang dinamakan puber kedua?” kataku dengan nada bercanda. Lagi-lagi masku diam. Malah aku ditinggalkannya begitu saja.
“Mas pergi. Assalamu’alaikum.” pamitnya sambil berlalu dari sampingku. Aku hanya bisa melongo menatap kepergiannya.
‘Wa’allaikumsalam….. Aneh! Ada apa sih dengan semua orang di rumah ini?” ucapku pada diriku sendiri.
Aku merasa ada yang mereka sembunyikan dariku. Tapi aku tidak punya keberanian untuk menanyakannya. Mas Bimo yang biasanya selalu menanyakan kabarku setiap pulang sekolah, kini lenyap entah ke mana. Bapak pun yang biasanya bercanda denganku, lebih sering pulang setelah aku masuk kamar.
Hari itu, Sabtu 10 April. Aku berpamitan kepada ibu (karena hanya ada beliau di rumah) untuk menemani Sita, sahabatku, untuk bermalam minggu di rumahnya karena orang tuanya pergi ke luar kota. Ternyata Sita memilih menginap di rumah pamannya. Kuputuskan saja untuk kembali ke rumah mumpung hari belum larut.
Di dalam pagar rumah kulihat ada motor mas Bimo dan motor bapak. Aku melonjak bahagia karena momen ini sangat jarang terjadi akhir-akhir ini. Rasanya tak sabar untuk segera masuk ke dalam rumah. Ketika aku memasuki teras rumah, kudengar suara keras masku. Padahal masku tidak pernah berbuat demikian. Bila marah pun, ia hanya diam. Berbeda denganku yang selalu meledak-ledak. Sayup-sayup kudengar isak tangisan ibu.
“Ada apa ini?” tanyaku dalam hati. Kuurungkan niat untuk membuka pintu. Kudekatkan mataku ke jendela berusaha untuk mengintip ke dalam. Untungnya kain korden tidak menutup jendela dengan sempurna.
“Bimo udah muak, Pak! Sampai kapan Bapak akan membodohi kami?” teriak masku.
“Bapak sudah menjelaskannya padamu! Mau diterima atau tidak, kenyataannya itu semua sudah terjadi. Jadi, kalian mau terima ataupun tidak, Bapak tidak peduli!” jawab bapakku tak kalah keras.
“Jadi, Bapak lebih membela perempuan murahan itu ya?”
“Plak!” tamparan tangan bapak mengenai pipi kiri mas Bimo. Semua terkejut, terlebih kau. Aku hanya bisa menutup mulut sambil menyeka air mata. Keadaan sangat tidak beres, rupanya. Perempuan siapa yang dimaksud mas Bimo?
“Jangan sekali-kali kamu menyebut Ndari dengan sebutan itu, Bimo!”
“Kenapa, Pak? Lantas apa sebutan yang pantas untuk perempuan yang merebut suami orang? Sundal??” jawab masku tak kalah berani. Bapak sudah mengangkat tangannya. Bersiap untuk melayangkan tangannya ke arah mas Bimo lagi. Namun, ibu lebih dulu menahannya. Kulihat pipinya telah basah dengan air mata.
“Sudah Pak, sudah! Jangan diteruskan lagi!” kata ibuku setengah berteriak. Aku yang masih terdiam di luar hanya bisa menangis tanpa bersuara. BAPAK SELINGKUH! Kutelan air ludahku yang terasa tersekat di tenggorokan. Hanya pahit yang kurasakan.
“Sudah saatnya kita tahu, Bu! Kalau perlu, Bimo jemput Ayu sekarang. Biar dia juga tahu bagaimana kelakuan bapaknya selama ini!” ujar mas Bimo dengan berapi-api.
“Aku kepala keluarga di sini. Kalau ada yang tidak terima, silakan keluar dari rumah ini!” tantang bapak dengan wajah merah padam menahan marah.
“Oooo, Bapak kira Bimo takut? Baik, jangan dikira Bimo takut hanya karena tak lagi tinggal di sini. Bimo pergi sekarang!”jawab mas Bimo. Rupanya mas Bimo tidak main-main dengan ucapannya. Segera ia menuju ke pintu. Ibu mencoba menahan kepergian masku. Namun, ditahan oleh bapak. Aku yang tadinya diam mematung di luar pintu memutuskan segera lari. Aku tidak tahu tujuanku. Otakku hanya memerintahkan satu kata kepada kedua kakiku; LARI! Ketika samara-samar kudengar deru motor mas Bimo, aku bersembunyi di balik semak. Aku tak ingin ia mengetahui keberadaanku.
Sebuah malam yang tak akan kulupakan seumur hidupku. Malam jahanam yang telah mengubah seluruh hidupku. Bahkan seluruh keluargaku. Sejak peristiwa itu, mas Bimo benar-benar menghilang. Bapak makin jarang pulang. Ibu tampak terlihat tegar seolah tak pernah terjadi apa-apa, meskipun aku tahu itu hanyalah seraut topeng belaka. Dan aku, entahlah. Rasanya aku bukanlah lagi aku.
“Yu, bikinkan kopi untuk Bapakmu. Kasihan, pasti capek baru pulang kerja.” Perintah ibu suatu sore. Aku diam, mengabaikan permintaan ibu.
“Yu….” Sekali lagi ibu memanggil namaku.
“Kalau Bapak mau kopi, ya suruh bikin sendiri. Ayu capek.” Jawabku sambil berlalu dari hadapan ibu. Aku berbuat demikian bukan karena aku tak menghormati ibu. Namun, sebagai salah satu wujud protesku kepada beliau. Ibu terlalu lemah. Terlalu nurut. Terlalu ngabekti kepada suami. Ibu tidak berani mengambil keputusan. Kalau semua perempuan di dunia ini bersikap layaknya ibu, pasti sebait lagu” wanita dijajah pria sejak dulu” akan selalu berkumandang hingga kiamat tiba.
Suatu hari aku pernah berdebat hebat dengan ibu. Namun, semua argumenku yang Menalahkan bapak dibantah oleh ibu. Aku jadi tak habis pikir degan apa yang ibu hendaki.
“Bu, sampai kapan ibu akan terus begini? Kalau ibu diam seribu bahasa, ini sama artinya bahwa ibu menyetujui tindakan bapak!” protesku. Ibu hanya tersenyum mendengar perkataanku. Beliau mendekatiku yang saat itu sedang nglesot nonton tv.
Label: Cerpen, Gerimis Senja
Click for Komentar