Cerita sebelumnya:
Gerimis Senja (3)
“Nduk, ndak selamanya diam itu setuju. Dan diam itu bukan berarti kalah ataupun lemah. Kamu harus ingat bahwa ini bukan sebuah perlombaan. Jadi, tidak ada yang menang ataupun kalah.” Jawab ibu sambil mengusap rambutku lembut.
“Harusnya Bapak sadar dong, Bu. Apalagi Bapak itu PNS. Kok nggak mikir sich?” ujarku masih dengan emosi.
“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Mungkin Bapakmu bahagia dengan jalan yang diambilnya ini. Sekarang yang penting kamu belajar untuk ujian.” Jawab ibu bijak.
Tapi semua jawaban ibu tak pernah memuaskanku. Itu semua tercermin pada sikapku pada mereka. Bagaimana dengan sikapku kepada bapak? Jangan ditanya. Aku nyaris tak pernah berbicara kepadanya. Hanya jawaban singkat yang keluar dari mulutku jika bapak bertanya. Itu pun jika kebetulan aku mau berbasa-basi kepadanya. Hormat? Apa masih layak bapak dihormati? Laki-laki yang mau enaknya sendiri. Begitu pula pada masku. Rasa sayang yang selama ini melekat di hati, kini perlahan telah terhapus. Aku membenci sikap kakakku yang lari begitu saja dari kenyataan. Apa dikiranya dengan lari lantas selesai persoalan?
Ujian akhir sudah di ujung mata. Aku makin tak terkendali. Di rumah aku muak dengan situasi yang makin membuatku pusing. Begitu pula di sekolah. Satu per satu teman-temanku mulai mencium permasalahan yang dihadapi oleh orang tuaku. Demikian dengan guru-guru. Pernah dua kali aku dipanggil ke ruang BK hanya sekedar untuk memastikan kebenaran berita yang telah menyebar itu. Tapi jangan diharap aku mau bercerita. Hanya sanggahan yang keluar dari mulutku. Apa peduli mereka? Pasti hanya basa-basi menjalankan tugas sebagi guru konseling.
Rupanya Tuhan masih menyayangiku. Sebelum pengumuman kelulusan tiba, aku terdaftar sebagai siswa yang diterima PMDK di salah satu perguruan tinggi negeri di luar kota. Aku menyambutnya dengan dingin, tak seprti ibuku.
“Yu, selamat ya , Nduk. Ibu bahagia sekali kamu diterima PMDK. Sudah ambil saja.” ucap ibuku sambil mencium kedua pipiku. Aku belum mengeluarkan sepatah kata pun ketika ibu menyambungnya lagi.
“Bapakmu sudah tahu. Dan Bapak juga setuju kalau kamu kuliah di sana.”
“Oo, supaya Bapak lebih leluasa setelah aku pergi?” komentarku sinis. Air muka ibu berubah seketika.
“Yu, jangan ngomong sembarangan! Orang tua mana yang tidak bangga kalau anak-anaknya pinter, bisa sukses? Pasti semua orang tua rela banting tulang asalkan anak-anaknya dapat hidup layak. Dapat sekolah yang tinggi.” Ibu menghela napas panjang. aku dapat merasakan beban berat yang ibu derita.
“Kamu harusnya bersyukur, Bapak Ibumu masih sanggup menyekolahkan kamu sampai perguruan tinggi. Kamu harus legowo, Nduk. Bagaimanapun, Bapak ya tetap Bapakmu. Bapak mungkin hanya keblinger. Belum menemukan jalan pulang kepada keluarganya. Maafkan Bapakmu, Nduk!”
Beberapa minggu kemudian, aku berangkat menuju ke kota ini. Sampai saat ini pun kau masih di sini. Bapak tetap mengirimiku uang jatah setiap bulannya. Setiap minggu pagi, ibu selalu menyempatkan diri untuk meneleponku dan masku. Tiga bulan yang lalu, ibu mengatakan padaku bahwa masku berada di luar pulau. Dan minggu lalu ms Bimo meneleponku untuk yang pertama kali setelah kepergiannya dari rumah.
Aku tersadar dari ingatan masa lalu. Tiba-tiba saja, perasaan rindu menyerang kalbuku. Air mataku telah menganak sungai. Perasaan bersalah muncul begitu saja. Bersalah karena sebenarnya aku tak kalah egoisnya dengan bapak. Aku hanya menuruti egoku demi sebuah pelarian. Membiarkan ibu sendirian menghadapi ini semua. Ibu bukanlah wanita lemah seperti anggapanku dulu. Sebaliknya, ibu adalah seorang wanita perkasa yang rela mengorbankan perasaan dan hatinya demi keutuhan keluarganya.
“Maafin Ayu, Bu.” ucapku lirih di sela isak tangisku. Kuambil ponsel di samping laptop. Kubiarkan jemariku bergerak lincah di atas keypad yang huruf-hurufnya telah terlihat samar.
Mas, bsk Ayu plg.Kgn ibu. Ayu b’dosa pd ibu.
Sent to: mas BimoQ syg
085645607877
Segera kukirim pesan singkat itu. Tak berapa lama, kudapatkan balasan dari mas Bimo.
Plglah,dek.Scepatnya mas plg.Kasihan ibu nunggu.Mas salah,maaf.
From: mas BimoQ syg
085645607877
Senyum lega dan bahagia menghiasi bibirku. Ada sebuah perasaan yang telah lama tak kurasakan. Aku kangen masakan ibu. Kangen Boni, kucing hitamku. Kangen kamarku. Semuanya. Bapakku? Benar apa yang dikatakan ibu. Aku yakin bapak pasti akan pulang setelah menyelesaikan petualangannya.
Besok aku akan pulang naik kereta pemberangkatan terpagi. Aku sudah tidak sabar menunggu datangnya matahari. Segera bersimpuh memohon maaf pada ibu.
“Bu, Ayu pulang!” ucapku dalam hati.
By: Erlis Mareta P.
Label: Cerpen, Gerimis Senja
Click for Komentar