So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 17/06/13 | @ 10.36

TIGA RODA PAK KARDI (Bagian 1)

Pagi yang cerah. Senyum mengembang di bibir Pak Kardi. Dengan santai, terus dikayuhnya becak bututnya, melintasi jalanan yang sama, selama 20 tahun terakhir. Tak ada beban atau rasa menyesal. Walaupun utang terus berjejal.

Sesekali mata Pak Kardi awas, melihat kalau-kalau ada kendaraan besar yang lewat di sampingnya. Badannya yang gempal dan berotot menandakan dia bekerja keras sepanjang siang. Kerutan di wajahnya memperlihatkan kekayaan akan pengalaman hidup. Warna terbakar panas matahari tak luput dari kulitnya. Satu-satunya pelindung selain bajunya adalah topi pancing lusuh, yang didapat dari seorang pelanggan becaknya 5 tahun yang lalu.

Tangannya begitu terampil mengemudikan becak. Sesekali dia membunyikan bel becaknya saat di perempatan. Kini dia sampai di jalan terakhir yang harus ditempuhnya menuju pasar Manunggal. Seorang ibu setengah baya berada dalam becaknya. Rupanya dia adalah pedagang di pasar tersebut. Sayur mayur segala rupa turut pula di becak Pak Kardi.

“Bune, wis nyampek iki lo. Mengko tak susul jam sewelasan yo?” (Bu sudah sampai ini lho. Nanti kujemput jam sebelasan ya?) Pak Kardi berbincang dengan wanita itu.

“Yo” (ya) jawab singkat wanita yang tak lain adalah istrinya itu.

Begitulah rutinitas Pak Kardi setiap hari. Mengantar istrinya ke pasar Manunggal, menjemput Bu Broto pemilik toko emas di pasar itu, juga mengantar anak-anak SD ke sekolah mereka di depan pasar Manunggal. Dan mengantar pelanggan-pelanggan becaknya sesekali saat dia melintas maupun mangkal.

Pasar Manunggal sedang saja besarnya. Tapi karena terletak di kota yang tak begitu besar, maka pasar itu seolah menjadi jantung kehidupan beberapa penduduk di situ. Begitu juga dengan Pak Kardi dan istrinya yang setiap hari mengais rejeki di pasar itu.

Seperti biasanya Pak Kardi menjemput Bu Broto setelah mengantar istrinya ke pasar. Rumah Bu Broto tak berapa jauh dari pasar. Hanya satu kilo meter saja dari pasar. Tapi rumahnya masuk ke gang-gang sempit yang pengap, khas perumahan penduduk yang tinggal di daerah pesisir itu.

“Bu Kas! Ayo gek ndang. Pecele wis nunggu ika lo,” (Bu Kas, ayo cepat. Pecelnya sudah menunggu lho) Pak Kardi setengah bercanda memanggil Bu Broto, sesampainya di depan rumahnya.

Nama asli Bu Broto sebelum menikah adalah Kasminah. Dan Pak Kardi begitu mengenalnya karena dia juga berasal dari desa yang sama dengannya sebelum pindah dan mengadu nasib di kota itu.

“Yo Pak Di. Ki lo, aku sek masakno kanggo bapake cah-cah. Sedhela engkas mari kok,” (Iya Pak Di. Ini saya masih masak buat bapaknya nak-anak) jawab Bu Broto dari dapur yang mepet dengan jalan gang depan rumahnya.

Akhirnya Pak Kardi duduk-duduk di becaknya menunggu Bu Broto. Selang beberapa menit kemudian Bu Broto tampak muncul dari depan rumahnya, bersiap-siap hendak pergi ke pasar.

“Ayo Pak! Wis awan iki tibake..”, (Ayo Pak! Sudah siang ini rupanya) Bu Broto menyadari keterlambatannya.

“Lha iyo ket mau ta Bu. Apa kerinan ta njenengan mau isuk? Sajake kok gak kaya biasane,” (Lha memang dari tadi Bu. Apa ibu kesiangan tadi pagi? Kelihatannya kok tidak seperti biasanya) tanya Pak Kardi.

“Lha ya ora iku Pak. Ki mau cah-cah dha arep teka. Sing mbarep ika lho Pak. Sing kerja nang Kalimantan. Arep mrene mengko sore, yo karo nggawa precil-precile pisan. Aku lak kudu masak sing spesial to Pak!” (Ya tidak itu Pak. Ini tadi anak-anak mau datang. Yang sulung itu lho Pak. Yang bekerja di Kalimantan. Mau datang nanti sore, ya dengan membawa anak-anaknya juga) jawab Bu Broto panjang lebar.

“Oo..ngono tah? Dadi si Husen ika arep mulih to?”, (Oo..begitu ya. Jadi si Husein itu mau pulang) sambung Pak Kardi.

“Hiyo Pak Di, wingi...” (Iya Pak Di, kemarin...) ingin Bu Broto bercerita panjang lagi, tapi becak mulai berbelok ke arah pasar yang semakin mendekat. Jadilah dia mengurungkan niatnya untuk berpanjang lebar lagi.

Sesampainya di bedak emasnya, Bu Broto berkata sambil mengulurkan dua uang ribuan,

“ki Pak ongkose.. Sampeyan arep mangkal ndek biasane ta? Mengko aku terno mulih yo? Jam rolasan ngono.” (ini Pak ongkosnya.. Pak Kardi mau mangkal di tempat biasanya kan? Nanti aku antarkan pulang ya? Jam duabelasan lah)

“Beres Bu! Suwun yo..”, (Beres Bu! Terima kasih ya..) jawab Pak Kardi sambil menerima ongkosnya. Rupanya itu ongkos untuk antar jemput selama dua hari belakangan yang memang belum dibayar Bu Broto.

* * * * *
B E R S A M B U N G

Label: ,