Cerita Sebelumnya:
TIGA RODA PAK KARDI (Bagian 2)
Kali ini Pak Kardi menuju tempat mangkalnya, di sudut perempatan tak jauh dari pasar. Baru saja dia akan berbelok menuju tempat pangkalan becak, seorang singkek menyetopnya dan memberi aba-aba untuk menuju stasiun.
Sepagi ini, Pak Kardi sudah mengantongi sembilan ribu rupiah. Lumayan, batinnya. Dari stasiun, Pak Kardi mengayuh becaknya santai, siapa tahu ada peumpang yang membutuhkan jasanya lagi.
Sampai di tempat mangkal, disapanya kawan-kawan seprofesinya. Sudah 6 tahun ini Pak Kardi selalu mangkal di situ bersama sekitar sepuluh pengayuh becak lainnya. Orang-orang di situlah yang mengajaknya mangkal di tempat itu. Kata mereka di situ lumayan untuk mendapatkan penumpang, karena dekat dengan pasar, sekolah dan kantor pemerintahan yang jaraknya kira-kira dua blok dari pasar.
Kemudian datanglah seorang penumpang yang masih muda. Gadis itu anak sekolahan di SMA di dekat alun-alun. Giliran Junaedi yang harus mengantarnya, karena sistem di situ adalah urutan. Jadi, becak dijajar berdasarkan urutannya. Karena Pak Kardi datang belakangan dia mendapat jatah yang terakhir.
Begitulah kehidupan sehari-hari tukang becak. Tak ada kata mengeluh dalam hati Pak Kardi. Walaupun sepi pelanggan dia biasa berkeliling kota untuk mencari penumpang. Berangkat pagi-pagi dan pulang jauh dari senja pun dia jalani. Dia selalu semangat dalam bekerjanya. Meski kadang badannya pegal sepulang dari bekerja. Toh dia cukup dipijat sana-sini oleh istrinya. Dan dia bersyukur akan hal itu.
Setelah menikmati regukan terakhir kopi dari warung Yu Dar di dekat situ, Pak Kardi memeriksa becaknya, kalau-kalau ada yang tidak beres. Tinggal dia dan Rokim yang menunggu giliran. Dan Rokim mendapat jatah duluan, saat seorang nenek meminta diantar ke sebuah alamat. Tiba-tiba mata Pak Kardi menangkap keganjilan pada becaknya. Bukan bannya yang bocor atau jerujinya yang patah, tapi salah satu mur penyangga sadel di belakang hilang. Dan bagian yang menyangga juga jatuh entah dimana. Pak Kardi mulai memeriksa lebih cermat lagi, siapa tahu ada yang hilang lagi.
Saat itu tibalah seorang bapak-bapak yang meminta antar Pak Kardi. Dengan berat akhirnya dia melepas penumpang itu ke teman-temannya yang lain. Karena Pak Kardi merasa becaknya bermasalah. Benar saja! Kerusakan itu begitu parah, sampai-sampai Pak Kardi beranggapan, kalau becaknya ini tidak mungkin dikendarainya karena hanya akan mencelakakan dirinya dan penumpangnya saja.
Pak Kardi mulai memutar otak. Uang di sakunya sudah berkurang seribu rupiah untuk kopinya pagi ini. Lalu kemanakah dia akan memperoleh uang untuk membeli spare-part yang hilang? Uang delapan ribu belumlah cukup. Paling tidak harga suku cadang yang hilang di becaknya itu seharga dua puluh atau dua puluh lima ribu. Belum lagi biaya reparasi.
Hhh.... becak ini memang sudah tua, batinnya. Inginnya dia meminjam uang dari teman-temannya. Tapi niat itu diurungkannya begitu saja, karena dia ingat hari masih belum juga siang dan kawan-kawannya juga pasti belum mendapat begitu banyak uang.
Akhirnya dia hanya duduk-duduk saja menekuri tanah sambil menatap kosong pada becaknya. Tak mungkin pula dia meminta uang istrinya karena uang hasil jualan sayur itu akan dibayarkan untuk utangnya minggu lalu. Belum lagi belanja keperluan dapur.
Tak ada sesal, sungguh benar-benar tak ada sesal pada diri Pak Kardi. Hanya kalut saja pikirannya saat ini. Ingatannya mulai mengembara kemana-mana. Dia ingat bahwa sore ini setoran juga harus sudah dibayar. Jumlah itu belum ikut yang termakan atau terminum olehnya.
Pak Kardi mulai melamun di tengah kekalutan pikirannya. Benar saja jika dulu dia berencana untuk membeli becak itu dari juragannya agar lebih baik hidupnya. Dengan memiliki becak sendiri, dia tidak perlu repot-repot menyetor tiap hari pada juragan becak. Memang juragan itu mengijinkan pekerjanya untuk membeli becak kepunyaannya jika ada uang. Dan itu adalah angin segar bagi Pak Kardi karena kebanyakan juragan becak tak mengijinkan pekerjanya untuk membeli becak-becaknya. Jadi mereka hanya akan diperas habis keringat dan tenaganya.
Tapi apalah mau dikata. Uang hasil jerih payah seharian selalu habis untuk setoran dan kebutuhan hidup lainnya. Terakhir, Pak Kardi bekerja sangat keras untuk membiayai putri bungsunya yang berniat bekerja di luar negeri. Entah uang darimana, yang penting halal, pikir Pak Kardi dan Bu Kardi saat itu. Karena mengandalkan uang becak dan sayur-mayur saja tidak akan cukup. Mereka tak pelak ngutang juga pada tetangga kiri-kanan dan kawan-kawan seprofesinya.
Si sulung dan tengah yang sama-sama lelaki sudah berkeluarga dan memilih hidup di perantauan. Dan sering kali mereka berdua mengirim uang barang seratus atau dua ratus ribu untuk membantu orang tua mereka. Tapi selalu, dan selalu saja uang tersebut habis untuk bayar utang sana-sini yang entah berapa jumlahnya. Belum lagi kebutuhan sehari-hari yang semakin meninggi harganya. Akhirnya impian Pak Kardi untuk memiliki becak sendiri harus pupus seiring berjalannya hari.
Angan-angan Pak Kardi terus melayang, mengenang kembali masa-masa sulit itu. Masa dimana si sulung sakit keras dan membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Diperparah lagi pihak rumah sakit tak mau tahu akan kesulitan Pak Kardi. Ingatannya mengembara di saat-saat sebelum dia menekuni profesi pengayuh becak.
Label: Cerpen, Tiga Roda Pak Kardi
Click for Komentar