So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 24/06/13 | @ 11.15

YANG TAK SELESAI (1)

Buliran tinta itu terus mengalir. Deretan kata tak pernah luput untuk mengejawantahkan jiwa seorang Djati. Penulis muda ini sudah lama bekoar-koar lewat karyanya untuk menyatakan kebenaran pahit sejarah yang ada dalam bangsanya. Setiap udara yang terhirup adalah nafas kepenulisannya. Setiap goresan kata adalah lambang keidealisannya. Tragisnya, setiap hasil karyanya adalah rangkaian pahit kehidupan yang harus dijalaninya.

Kompeni telah hengkang dari Nusantara. Yang mengaku sebagai saudara Asia pun lari setelah pusat negaranya(Hiroshima dan Nagasaki) dihantam zat kimia berapi yang mematikan oleh sekutu. Masa tanpa penjajahan ini oleh Nusantara yang selanjutnya disebut Indonesia dinamai dengan masa kemerdekaan. Masa yang sempat membuat Djati hampa, masa yang sempat membuat Djati lara, pastinya masa kemerdekaan adalah masa yang banyak membuatnya tersiksa. Tersiksa oleh kungkungan sosial akibat semua karya yang banyak menonjolkan nilai humanismenya banyak menuai teror murka para suruhan penguasa. Dari sinilah penulis humanis ini semakin yakin memulai jalannya.

“Jangan pernah mengemis,” begitu ibunya menekankan,” jangan pernah mengemiskan sesuatu yang bukan hakmu, walau hanya sebuah buku tulis. Mencari dari hasil jerih payahmu sendiri lebih baik daripada hasil pemberian.” Lamat-lamat petuah wanita yang selama ini dikaguminya mulai menghilang dari lamunan. Rupanya pagi sudah mulai menghadang, jalan di depan rumahnya tak lagi terlihat lengang. Semua telah siap berjuang. Beberapa ibu-ibu menjinjing bongkahan kayu yang digendong di atas punggungnya. Rupanya mereka benar-benar selalu semangat berjuang untuk bangun pagi dan mencari kayu sebagai barang jualan di pasar. Terlihat pula seorang pak tua berpeci yang masih kriyip-kriyip namun tetap semangat saat menggiring bebek-bebeknya ke sungai. Penulis yang selalu berbekal gelintiran tembakau ini pun segera menyudahi novel humanis yang ke tiga belas yang baru sampai pada permulaan konflik cerita. Tujuan menyudahi nulis novelnya lebih awal tak lain agar ia tidak ketinggalan terlibat dengan pemandangan di depan rumahnya dengan membawa hasil opini humanisnya yang ditulis tadi malam untuk diserahkan pada pemimpin redaksi suatu majalah milik swasta. Berbekal sandal yang terbuat dari bekas ban, Djati mulai menyusuri beberapa gang tembusan agar segera sampai di kantor majalah” medan prijaji”.

“Bisa dimuat, Pak?” Djati dengan cepat bertanya sesaat setelah menangkap wajah sumringah pemimpin redaksi majalah” Medan Prijaji”.” Tulisanmu menjilat-jilat” sahut Danarto singkat. Tak pelak, Djati tersenyum karena membayangkan kepingan perak yang akan diterimanya. Maklum, saat itu penulis tak mendapat tempatnya untuk urusan dapur. Selain itu, beberapa novelnya yang sudah terbit, royaltinya tidak segera dibayar akibat kepercayaan penuh Djati pada sahabat yang dipercaya mengurus penerbitan novelnya yang ternyata menghianatinya. Jadi, mau tak mau, Hasanah, istri Djati yang hamil delapan bulan harus rela tirakat akibat himpitan ekonomi.

Karya calon bapak ini ternyata dengan mudah dapat diterima para pemuda yang menghendaki penegakan nilai-nilai humanisme dalam tiap hal. Ya, mungkin sedikit banyak kegembiraan ini adalah pengaruh hoki dari si jabang bayi. Sambutan hangat ini ternyata tak berlangsung lama. Penguasa dan pemerintah pada umumnya menganggap tulisan Djati sebagai salah satu tindakan makar yang bertameng humanisme. Penguasa yang kejawen saat itu tak mau singgasananya dikritisi oleh siapapun, lebih-lebih oleh rakyatnya yang hanya bekerja sebagai penulis opini freelance di majalah bernuansa politik itu.

“Ayo ikut!” suara dari anak adam berpakaian doreng itu mengawali perkenalan Djati dengan ruang hampa yang cukup kejam. Ruangan yang hanya berisi tikar buluk dengan tembok penuh coretan garis-garis sejajar khas penulisan hitungan masa hukuman oleh bekas narapidana diruangan itu dulu. Setelah ketahuan mengkritisi penguasa lewat tulisannya dan menyebarkan novel-novel buatannya yang pasti sarat kritikan kemanusiaan, maka saat itu juga Djati harus dinonaktifkan dari segala kegiatannya. Dalam pengap ruangan tahanan politik di salah satu LP terkenal di Jakarta itu, pria yang mulai terlihat kurus itu tak pernah berhenti untuk meneruskan novel ketiga belasnya. Novel ini memang belum setebal dua belas novel-novel sebelumnya, namun proses perjalanan penulisannya dua belas kali lebih tebal jika ditulis secara kronologis. Benar-benar great!

Suara jangkrik dengan setia menemani malam-malam pria yang rambutnya mulai kusut dan berkutu ini saat menulis di penjara. Seakan bersahutan, burung hantu yang katanya jelmaan setan itu pun tak lantas membiarkan jangkrik menemani Djati dalam malam sendirian. Maka kompaklah dua spesies berbeda itu layaknya anjing yang selalu setia pada tuannya, Djati. Malam semakin larut, suara” anjing setia” Djati pun semakin terdengar sayup diluar tembok berjeruji besi yang hanya diterangi sebuah pelita.

* * * * *
B E R S A M B U N G

Label: ,