Cerita Sebelumnya:
YANG TAK SELESAI (2)
Pagi itu, dia mendapati hari kebebasannya semakin nyata.” Djati Warjana, terpidana kasus percobaan makar pada tanggal 21 Oktober 1974, pada hari ini, 21 Juli 1983, dibebaskan dengan konsekwensi wajib lapor seminggu sekali.” Beban bertahun-tahun itu rasanya lenyap seketika sesaat mendengar keputusan hakim. Pikirannya saat itu hanya pada Hasanah. Tanda tanya berbagai ukuran memenuhi ruangan sidang saat itu. Pemunculan tanda tanya itu tak lain menanyakan sekitar kehidupan keluarganya. Bagaimana kabar Aji, anak pertamanya yang diprediksikan mengikuti jejak kepenulisannya? Bagaimana Hasanah bekerja untuk memenuhi kehidupan keluarga selama ditinggalkannya? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya.
Rupanya, mantan terpidana ini sudah tidak kuat melepas rindu dengan keluarganya. Setelah menyalami seluruh hadirin di persidangan, tanpa sempat pamit dengan teman-teman” seperjuangannya”, Djati berlari agar segera dapat menemui keluarganya. Bermacam jenis rindu tertumpah kepada Djati saat dia, Hasanah, dan anak-anaknya akhirnya bertemu. Layaknya seorang Djati, tak akan tahan jika tak segera menemui sejawat pada majalah yang menguatkannya, yang sempat membuatnya bertitel napi selama sembilan tahun.
“Pergi lagi, Pak?” tanya istri yang selalu setia menunggu kepulangannya dari penjara.
“Ndak lama kok, Bu,”
“Boleh ajak Aji ya, Bu?” ucapan itu benar-benar tak mampu menyembunyikan kerinduannya pada Aji, anak lelaki yang selalu dibanggakannya.
“Terserah Bapak lah,”
Kali ini, bapak dan anak itu berniat mengulangi peristiwa dahulu. Berlari bersama. Berlari layaknya kijang yang sedang diburu harimau. Begitu lincah. Namun, seringkali fisik hanya sebagai pemuas hati, yang akibatnya, fisik yang sebenarnya sudah tak kuat terus dipaksa bertindak oleh hati. Bagaimanapun juga, fisik tak dapat dibohongi. Mata Djati berkunang-kunang. Bongkahan batu didepannya membuatnya tersungkur lemas. Aji, bocah yang mulai beranjak dewasa itu spontan menabrak tubuh bapaknya yang telah tersungkur. Naas, Aji jatuh dan menggelinding tepat di bawah badan sebuah truk pengangkut semen. Kepalanya terbentur keras pada mesin truk yang masih panas itu. Leleran cairan merah kehitam-hitaman pun sontak keluar dari kepalanya. Yang dilihat hanya kabut putih berjajar, cahaya putih redup pendar.” Aji..” lirih bapaknya berucap.
“Pemalas!” suara bak kaca pecah itu menyelamatkan Djati pada sebuah trauma semunya. Ya, kehilangan anak jagoannya, Aji.” Bangun, tai-tai itu semakin menumpuk jika kau tak segera mengangkutnya!” suara sipir berkumis itu membuyarkan putaran video terburuk yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya. Sekilas, tahanan politik ini sedikit membuka ingatan akan mimpinya tadi. Namun, cepat-cepat ia tutup ingatan buruk itu sebelum hatinya galau memikirkan keluarganya dengan bergegas untuk bekerja sebelum pukulan sipir kembali menghantam badan kurusnya.
Hari ini, tempat yang sama, orang yang sama, bahkan suasana yang sama. Hampa. Jeruji ini memang sudah sembilan tahun menemani perjalanannya sebagai penulis” terlarang”. Tapi, walaupun sudah dijalani cukup lama, toh rasanya tetap hampa. Sekrop pengambil tai-tai kuda itu sudah penuh rupanya. Lamunannya ternyata agak lama. Cepat-cepat ia masukkan gundukan tai yang sudah memenuhi sekropnya ke dalam anyaman bambu di sampingnya sebelum ditegur pengawas.
“Bagaimana nasib novel kedua belasmu yang kau selundupkan itu, Bung?”
“O, yang lewat kapten Sparrow?” sahut Djati agak datar.” Disita.” tambahan jawaban yang singkat namun cukup menyayat.
Han yang mempunyai dua isteri dan enam anak itu langsung terpekur mendengar jawaban Djati, sahabatnya di penjara. Dulu, mereka berdua ditangkap karena sama-sama dicurigai melakukan gerakan perlawanan pada pemerintah. Namun, bedanya Han ditangkap di daerah Jogja akibat penggeledahan di rumahnya. Dalam penggeledahan itu petugas menemukan fotokopi diktat tentang pemikiran Karl Max semasa kuliah dulu. Tak pelak lagi, Han pun dipenjara dengan tuduhan penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Label: Cerpen, Yang Tak Selesai
Click for Komentar