SUARA HUJAN (1)
Sebelum sinar matahari menerpa langit, mendung sudah bergelayut di sana. Tapi sepertinya tidurnya tak terusik. Hanya sekali kuperhatikan dia menarik selimutnya semalam. Mencoba mengusir dingin.
Sadarkah kamu, aku duduk disini memperhatikan tidurmu? Terlihat cantik. Ah, tapi memang selalu terlihat cantik di mataku. Sempurna, memang sempurna.
“Mmh....” erangmu, mengukir senyum di wajahku
Akhirnya kamu bangun juga.
“Selamat pagi.” Aku mencoba menyapamu. Hanya tatapan mata yang menjawab sapaanku. Sambil membuka selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya itu, lalu turun dari kasur nyamannya menuju kamar mandi. Ternyata dia memilih untuk tidak menghiraukanku.
Baiklah, kalau begitu aku akan menunggu di dapur seperti biasa.
Lagi-lagi senyum itu terlihat di mataku. Memperhatikannya memasak walau hanya sekedar sarapan pagi, selalu membuatku betah memandangnya berlama-lama. Andai aku bisa terus melakukan hal ini setiap hari...
Ah, dia membuat nasi goreng sossis kesukaanku. Dia selalu tahu apa yang aku mau.
“Sayang, kamu masih menyediakan bagianku?”
masih tetap diam tak bersuara, dia hanya diam sembari meletakkan sebuah piring nasi goreng sosis di hadapanku dan sebuah lagi untuk dirinya sendiri.
Masih terus kupandangi dia sembari menikmati masakannya. Memang sempurna wanitaku ini. Masih kupandangi lekat. Tanpa jeda.
“Kenapa?” Akhirnya dia bersuara juga.
“Kenapa memandangku seperti itu?cepat habiskan sarapanmu itu lalu mandilah!”
“Kenapa? Aku juga tidak tahu, sayang. Tapi kamu harus mulai bisa menerimanya.”
“Menerima apa? kenyataan? Bukankah dari dulu aku sudah menerimanya meski dengan hati tak sempurna?”
Lalu dia mulai menangis, walau tangannya tetap menyuapkan sarapan itu ke dalam mulutnya. Sebenarnya kamu terlihat lucu menangis sambil makan. Andai saja keadaannya tidak seperti ini, pasti tertawa sambil lalu memeluk dan menciumimu. Tapi saat ini aku tidak mampu melakukan apapun selain menatapmu. Masih lekat dan tanpa jeda.
Sayang, jangan menangis. Aku paling tidak bisa melihatmu menangis.
Dan tetesan hujan mulai terdengar dari balik jendela. Lihat, langit pun memilih berada di pihaknya ingin ikut merasakan kesedihannya.
“Nggak, nggak! Aku nggak nangis!” serunya tiba-tiba sambil berdiri, membuatku terkejut.
“Kembalilah pada nyatamu, aku tak pernah bisa mendampingimu setiap waktu nyatamu”
aku tak pernah mengerti, mengapa dia mengucapkan seperti itu. Bukankah aku dan dia adalah nyata, sama-sama nyata?
Setelah kedua tangannya menghapus air mata yang sudah terlanjur jatuh menetes di pipi merahnya, dia menyudahi sarapannya yang masih tersisa setengahnya dan meninggalkan piringnya tergeletak begitu saja di atas meja makan, menuju kamar.
Tapi aku tetap di sini, memandangi piring di hadapanku yang masih utuh terisi, yang tak mampu kusentuh.
Tak lebih dari lima menit, dia keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah berganti. Blue jeans belel favoritnya dan sweater biru..... Ah, sweater itu hadiah dariku, bukan?
“Sayang, kamu mau kemana hujan begini?”
Selama ini, memang hubunganku dengan Diva tak mendapat restu dari orang tuaku. Kata mereka, dia bukan wanita yang baik-baik, dia takkan bisa memberimu bahagia selamanya. Sudahlah, lupakan dia.
Masih terngiang reaksi mamaku ketika aku perkenalkan Diva sebagai calon istriku. Tak hanya dari orang tuaku saja yang tak menginginkan Diva yang mendampingi hidupku. Teman-temanku, semuanya bahkan logikaku sendiri juga tak mengijinkannya.
Aku memang sudah kehilangan logikaku. Bermain dengan khayal yang membuatku merasa senang dan bahagia.
Diva kembali memilih diam dan mengambil payung transparan berwarna senada dengan sweater itu. Sudah tentu aku harus mengikutinya. Karena hari itu aku sudah berjanji akan selalu ada di sampingmu.
Suara hujan makin jelas terdengar saat aku dan Diva berada di luar rumah.
“Diva, kamu mau ke....”
Label: Cerpen, Suara Hujan
Click for Komentar