Cerita sebelumnya:
SUARA HUJAN (2)
“Sudah jangan la….” potongnya tak selesai. Setelah membuka payung, dia memulai jalannya. Masih dengan terisak.
Semua gerak-geriknya selalu ingin membuatku tersenyum, walau hari ini ada rasa pedih terselip. Melihatnya mendekap buket bunga lily putih yang baru saja dia beli sambil tersenyum mencium harumnya itu juga mampu membuatku menyunggingkan senyum, biarpun rasa pedih ini tak mau pergi juga.
Lalu dia berhenti, berdiri diam di bawah payung yang terus menerima tetesan hujan untuk melindunginya dari basah. Sementara itu, Diva sedang menatap apa aku sendiri juga tak tahu.
Ah, jalan ini, ya? Kamu rindu? Tempat ini memang selalu membuat rindu.
Ingatkah kamu, tempat ini, jalan yang terpagari oleh deretan pohon mahoni di kedua sisinya ini, adalah tempat kali pertama aku menemukanmu dengan senyummu. Tempat kali pertama aku mengungkapkan perasaanku. Tempat kali pertama kita berciuman. Dan tempat kali pertama aku meninggalkanmu.
“Sudah lama Daff...” dia mengulangi ucapannya sebelum dia meninggalkan rumah tadi.
“....tapi kenapa kamu tak juga bisa melepaskanku?”
Tetesan hujan yang semakin menderas itu sedikit menyamarkan suaranya. Tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas. Jelas sekali.
“Itukah sebabnya, Diva? Itukah sebabnya kamu masih membuatkanku sarapan setiap pagi?”
“Mungkin sebaiknya aku yang harus melepasmu lebih dulu. Agar kamu bisa melepaskanku. Agar kamu bisa kembali di nyatamu.”
Sudah berulang kali dia memintaku melepaskannya, memintaku untuk memerdekakannya. Tapi tak juga aku penuhi permintaannya. Aku memang terlalu sayang dan tak ingin melepaskannya. Bahkan untuk tak memandangnya setiap waktu. Waktuku memang sudah kuatur untuk selalu memandangnya. Memandangnya dengan sempurna tanpa jeda.
Dan dia menghela napas, lalu dia menyeberang jalan dan melanjutkan langkahnya. Tapi aku akan tetap disini. Aku menyandarkan tubuhku ke salah satu pohon yang berdiri kokoh ini, sambil terus memperhatikannya hingga sosokmu menghilang dari pandangan. Aku memang tak begitu yakin untuk melepasnya. Membuatnya merdeka. Mungkin dengan begini, aku akan benar-benar bisa melepasnya..
“Diva...”
Dan dia kembali berhenti, berbalik. Menjatuhkan payungnya ke tanah, membiarkan tubuhnya basah dan bunga-bunga lily dalam pelukannya ikut lunglai terkena siraman hujan. Menatapku sambil mendekap mulutnya dengan salah satu tanganmu.
“Diva, kamu melihatku? Aku terlihat di matamu? Kamu mendengar panggilanku?”
“Tunggu, Diva! Biarkan aku yang ke tempatmu, biarkan aku yang....”
Suara nyaring memekakkan telinga yang terdengar tiba-tiba turut menghalangi pandanganku, sebelum akhirnya melesat kabur.
Dan Divaku, wanitaku tergeletak di situ, di jalan itu. Dengan darah yang mengalir dari kepalanya
“Tidak, Diva! Kamu tidak boleh mati!”
Darah merah itu mulai membaur bersama tetesan hujan yang terjatuh ke bumi.
“Siapapun, tolonglah Divaku!” cobaku berteriak.
Di kota kecil ini, hujan selalu mampu membuat orang-orang enggan meninggalkan hangatnya rumah mereka, pun di jalan berpagar mahoni ini. Bahkan, satu-satu mobil yang melintas telah kabur menjauh setelah menabraknya, Diva, wanita sempurnaku.
Dan aku hanya bisa berteriak tanpa suara. Hujan mengalahkan suaraku. Sementara hujan semakin deras mengguyur pagi.
Lalu, tiba-tiba tak kutemui lagi jasad Diva, darah yang tadi merah juga tak kulihat.
Hujan tak terang
Pagi tak menang
Mimpi tak mimpi
Khayal tak khayal
“Daffa…”.
Tiba-tiba kudengar mama memanggilku, kucari Diva yang hilang masih kucari.
“apa yang kau cari sayang?”Tanya mama.
“Diva, mana diva?”
Hujan yang merenggut Divaku. Aku benci hujan. Hujan yang mematikan wanitaku. Jika saja hujan mau mengalah untukku, mungkin hari ini aku masih bisa melihat Diva, merasakan masakannya dan menikmati pandanganku.
Label: Cerpen, Suara Hujan
Click for Komentar