Cerita sebelumnya:
SUARA HUJAN (3)
Aku melihatnya tersenyum. Senyum yang begitu indah. Dia ada lagi untukku, khayalku. Tapi ternyata, ketika ingin kumeraihnya, dia berkata
“Trimakasih, telah memberiku merdeka. Aku tahu kamu akan bisa melakukannya. Menghidupkan pikirmu yang sempurna.”
“Aku ingin bersa…..”
belum selesai aku bicara,
Lalu……..dia menghilang
Mungkin takkan kembali lagi untukku.
Setiap hujan aku harap ada Diva lagi. Tapi, dia tetap tak datang. Aku memang benci hujan tapi aku juga rindu hujan. Hujan yang membunuh Divaku, hujan juga yang kembalikan dia untukku, harapku. Setelah hujan yang berpuluh-puluh kali, Diva tetap tak mau datang. Apa mungkin dia memang sudah bahagia? Kenapa dia tak mengajakku bersama bahagianya? Apa aku tak berhak bahagia? Apa dia memang seperti kata mamaku yang tak bisa beriku bahagia?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu muncul ketika hujan pagi hari.
Dan….
Pagi ini kudengar suara hujan. Kali ini aku harap dia akan datang lagi untukku. Dan memang dia tak datang lagi. Aku sudah lelah menunggunya dalam suara hujan.
Masih kupandangi hujan pagi ini. Aku lari…..
Lari…….
Entah kemana aku tak tahu…..
Aku lari dalam hujan…….
Sampai aku temukan Diva.
Masih terus berlari…….
Sampai hujan membunuhku seperti dia membunuh Divaku
Aku ingin hujan yang membunuhku
Membunuh anganku
Memerdekakan jiwaku dan pikirku
Sampai aku rasakan sakit yang teramat. Kurasakan air tak seperti rintik atau deras. Seperti jarum. Sakit yang kurasa. Apa ini yang dulu Diva rasakan ketika hujan membunuhnya? Apa ini yang tubuh Diva rasakan ketika hujan memerdekakannya? Entah aku tak tahu. Tapi aku memang merasakan hujan seperti jarum.
Disela-sela hujan aku melihat sepucuk kertas bertengger di dahan. Kuambil lalu kubaca.
Jawaban dari sebuah perjalanan
Bila bintang yang jadi jembatan
Tak mampu lagi raih sang bulan
Maka yang ada hanya sesat jiwa dan raga
Gerimis di sela-sela hujan
Tanpa tema tanpa paksa
Cuma mata yang mampu berkata
Kita bukan siapa-siapa
Aku dan kamu sama-sama manusia perkasa
Yang akan berpaling dari nyata
Waktu menggoda jarak
Kehilangan lelah saat mencarai jejak
Barangkali kini aku
Telah tinggal di sejarahmu
Bercerita tentang seribu perjalanan
Dalam kematian
Bercakap sambil berjalan
Meninggalkan bulan
Meninggalkan angan-angan
Berkali-kali mengukur jarak dan waktu
Dalam sudut kepastian
Dipicu lalu dilepas
Dibalik mentari
Dunia kita, 230507
DIVA
Dan memang jarum yang menghujani tubuhku. Aku diam tak berdaya. Lemas dengan hujan jarum dan suara hujan itu.
Mataku terpejam, tak sanggup lagi menahan hujan jarum itu. Tak tahan lagi menahan suara hujan itu.
“Trimakasih, dok!” kata mama.
“Daffa tak bisa terus menerus saya beri penenang, kasihan dia jika terus seperti ini. Sebaiknya Anda bawa dia ke psikiater untuk memulihkan kondisinya.” Kata dokter.
“Sekali lagi, terimakasih Dok, saya sudah coba bawa dia ke beberapa psikiater tapi hasilnya hanya sementara. Saya juga bingung apa yang harus saya lakukan untuk menyembuhkannya.” Curhat mama.
“Coba Anda bawa Daffa ke dokter ini, mungkin saja dia bisa membantu mengatasinya” kata dokter sambil menyerahkan kartu transparan bertuliskan sebuah nama.
dr.Diva Aluna Symphonia, S. Psi..
RS. Prima Husada.
By: Anis Setyawati
Label: Cerpen, Suara Hujan
Click for Komentar