So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 26/06/13 | @ 09.37

Cerita Sebelumnya:


POHON KENANGA DI DEPAN RUMAH (Bagian 4)

Samar-samar dalam tidurku aku mendengar orangtuaku berteriak marah mencariku. Mungkin karena masalah pohon kenanga itu, pikirku. Benar. Terjadilah pertengkaran antara aku dan orangtuaku yang selama ini tidak pernah terjadi di antara kami. Semua perkataan mereka kubantah. Aku sendiri heran, darimana kudapatkan keberanian untuk melawan orang-orang yang sangat aku sayangi itu? Aku juga heran dengan apa yang aku lakukan. Seharusnya beban berat yang selama ini harus aku bawa akan hilang ketika pohon itu roboh. Ternyata tidak. Hatiku tetap saja gusar. Bahkan hubunganku dengan orangtuaku semakin buruk, walaupun mereka sering mengajakku berbaikan. Pekerjaanku? Sama sekali kacau. Kemudian hari-hariku lebih sering aku habiskan untuk merenung.

Aku sama sekali tidak menyadari akibat dari sikapku akan menjadi masalah yang semakin besar. Tanpa aku ketahui awalnya, tiba-tiba saja aku mendengar bahwa orangtuaku dan Tante Yuli sedang bertengkar.

Aku mengira-ngira mungkin mereka bertengkar karena aku. Kemudian aku mencoba menghubungi Tante Yuli.” Apa Da? Kamu juga mau memusuhi tantemu ini? Oh ya, tentu saja ya? Kamu kan anak mereka.” Aku terkejut mendengar Tante Yuli menyebut orangtuaku dengan ‘mereka’. Bukankah selama ini, seumur hidupku orangtuaku dipanggil dengan panggilan ‘dik’. Seenaknya saja mereka menuduhku meracuni pikiranmu dengan takhayul murahan. Katanya aku yang membuat pikiranmu kacau akhir-akhir ini. Apa mereka tidak tahu, ha? Semua yang aku katakan itu memang benar. Kamu jadi perawan tua seperti itu kan memang benar. Sedang kamu juga menanam pohon kenanga di depan rumahmu juga benar kan? Lalu apa yang salah? Aku jelas tidak, apa yang mereka sebut takhayul juga tidak kan?”

Aku banting telepon seketika mendengar perkataan Tante Yuli yang dulu kuanggap baik itu. Aku tersinggung dan rasanya sakit sekali dihina seperti itu. Tiba-tiba muncul rasa bersalah dan menyesal pada kedua orangtuaku atas sikapku akhir-akhir ini. Dengan berlari aku menghampiri mereka dan bersimpuh sambil menangis meminta maaf.

* * * * *

Cahaya keluargaku kembali bersinar kembali seperti dulu. Saat-saat kami saling menyayangi dan memberikan pengertian yang penuh itu telah kembali. Aku juga mencoba memperbaiki sifat dan sikapku pada orangtuaku dan kembali menata pekerjaanku yang kukacaukan sendiri. Semuanya kembali berangsur-angsur membaik. Rasa puas dan bahagia menyelimuti hatiku.

Tapi…ternyata belum semuanya kembali seperti semula. Hubungan keluargaku dan Tante Yuli tetap buruk seperti bulan lalu. Dan itu berjalan hingga berbulan-bulan lamanya bahkan permusuhan kami tercium sanak saudara kami di desa embah.

Karena permusuhan itulah kami jarang dan akhirnya tidak pernah mengunjugi embah yang semakin tua di desa karena kami enggan jika nanti kebetulan bertemu satu sama lain di rumah embah dan akhirnya bertengkar disana. Berbagai usaha perdamaian dilakukan saudara yang lain, tetapi tetap saja keadaannya. Ternyata pertengkaran itu belum usai juga. Entah sampai kapan….

* * * * *

Tanpa aku ketahui. Di desa yang sangat sepi dan terpencil, seorang nenek yang semakin renta karena telah menyimpan puluhan tahun umur dalam dirinya sedang duduk di sebuah taman. Memandangi sebatang pohon kenanga yang berbunga lebat. Tampak kebencian ketika ia melihat pohon yang kini dianggapnya sebagai pembawa sial. Matanya benar-banar memantulkan sinar kebencian. Akan tetapi… beberapa saat kemudian muncul kesedihan yang amat sangat mengharukan segala jiwa dan badannya. Kesedihan yang telah dimilikinya sejak beberapa bulan yang lalu. Kesedihan yang disebabkan hanya oleh sebatang pohon kenanga di depan rumah.

T A M A T

By: Nurdiana Eka Novianjani

Label: ,