So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 26/06/13 | @ 09.35

Cerita Sebelumnya:


POHON KENANGA DI DEPAN RUMAH (Bagian 3)

Aku kembali ke rumah orangtuaku dengan membawa oleh-oleh khas desa yang dipaksakan embah untuk kubawa dan juga ingatan tentang takhayul pohon kenangan yang diceritakan tanteku. Entah mengapa tiba-tiba aku merenung-renungkan perkataan tanteku.

Di taman depan rumahku juga tumbuh pohon kenanga yang berbunga sangat lebat dengan pohon yang indah sekali. Kemudian aku melihat diriku sendiri. Usiaku sudah menginjak kepala dua dan berekor enam, ternyata benar-benar menbuatku kaget, 26 tahun? Memang usia yang layak untuk menimang seorang bayi. Tapi calon pendampingpun aku tidak punya, bahkan pacarpun sudah berapa tahun tidak aku miliki.

“Apa benar takhayul itu?”, pikirku. Aku begidik ngeri melihah diriku sendiri.” Jadi sekarang ini disampingku ada seorang Genderuwo?Seorang? Apa sebuah?”, aku masih sibuk dengan pikiran yang tidak penting itu.

Ternyata pikiran-pikiran itu masih menghantuiku pada hari-hari selanjutnya. Bahkan semakin menjadi saja. Perlahan-lahan aku tidak konsentrasi pada pekerjaanku dan kembali berpusat pada pohon kenanga. Sepertinya pikiran itu telah berakar pada otakku yang artinya sama saja dengan sulit dihilangkan.

Rutinitas hidupku berubah-ubah tidak menentu. Segalanya menjadi serba kacau. Karena pengaruh bunga yang menyihir gadis-gadis menjadi perawan tua itu.

Orangtuaku menyadari keadaanku yang sudah berubah.” Kamu kenapa Ida? Tiba-tiba saja sikapmu sangat berubah. Kamu tidak ceria seperti dulu bahkan sekarang kamu sering cemberut dan gampang marah. Dan itu lihatlah…”, ibuku menarikku ke depan cermin,” Kamu semakin kurus dan wajahmu juga pucat. Kamu sakit? Banyak tugas dari kantor? Atau ada hal lain? Ibu amati setelah kamu pulang dari Kampung Sekar sikapmu mulai berubah. Begitu kan Yah?” ayah mengangguk membenarkan.

Setelah aku berhasil mengatasi rasa keterkejutanku sendiri saat melihat perubahan diriku di cermin, aku terbata-bata berkata,” Yah. Aku ingin memotong pohon…pohon kenanga di depan rumah kita.” Kedua orangtuaku terkejut mendengar perkataanku yang mungkin di luar perkiraannya.

“Maksudmu apa Da?” ayahku terlihat keheranan sekali.

“Ayah lihat kan? Sekarang Ida masih belum menikah. Padahal Ida sudah dua puluh enam tahun, tidak muda lagi, Yah. Dan itu mungkin, eh bukan, pasti disebabkan oleh pohon kenangan di depan rumah kita. Menurut Tante Surabaya pohon kenanga yang ditanam di depan rumah bisa membuatku jadi perawan tua. Dan ternyata itu memang benar kan?”, aku menjawab sambil menahan isak tangis.

“Tante Yuli?”

“Iya. Kemarin Tante Yuli juga berlibur di Kampung Sekar. Kita harus memotong pohon kenanga itu Yah!”

“Ida… Ida. Itu kan cuma takhayul saja , Nak. Bukannya selama ini kamu tidak pernah percaya takhayul semacam itu? Coba kamu lihat pohon kenanga itu! Bunganya lebat dan harum, juga pohonnya sangat bagus. Tetangga kita juga banyak kan yang iri melihat kenanga kita. Bahkan setiap hari kamis, mbak Semi memberi kita uang untuk bunganya.” Ibuku dengan sabar menjelaskan keberatannya pada usulku yang mendesak itu.

“Apa Ibu lebih suka melihat anak Ibu tidak menikah daripada memepertahankan pohon kenanga itu? Juga baunya itu, justru malah itu yang bikin Genderuwo pada datang Bu!”, intonasi suaraku tiba-tiba meninggi dan akhirnya aku tidak dapat menahan tangis. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba Ida bisa secengeng itu?”

“Astaughfirullah…Naaak! Kok kamu ngomong begitu?” ayahku terlihat sedih mendengar perkataanku.

Aku hanya terdiam. Muncul rasa menyesal telah berkata seperti itu. Tapi gengsi juga menahanku unutk tidak meminta maaf pada orangtuaku. Tanpa aku sadari kakiku telah melangkah keluar dari rumahku menuju entah kemana. Tidak kuhiraukan lagi teriakan orangtua dan pandangan tetanggaku yang saling berbisik memperhatikan kami.

Keesokannya baru aku kembali saat ayah dan ibuku telah berangkat bekerja. Segera aku menuju gudang dan mengambil gergaji,” Ayah, Ibu, maafkan aku”, gumamku sambil mulai memotong pohon kenanga yang telah menyita pikiranku selama berhari-hari itu. Setelah pekerjaan itu selesai, akupun tertidur.

* * * * *
B E R S A M B U N G

Label: ,