LUKISAN HITAM (Bagian 1)
Pagi itu, saat embun mulai meneteskan titik air yang menjadikan suasana di lingkungan rumah kediaman seorang salah satu putra dari keluarga seniman ternama Mangun Kusumo tampak semakin lembab, pada saat itu pula Agung Mangun Kusumo menyapa pagi dengan duduk di depan sebuah kanvas. Di kanvas itu penuh goresan-goresan cat yang berwarna gelap mendominasi dasar lukisannya. Warna-warna gelap yang menggambarkan suasana dan perasaan hati Agung yang teringat pada masa lalunya. Sudah semalaman ternyata ia hanya duduk dan memandangi gambar yang telah ia lukis semalam suntuk. Seperti itulah kegiatan Agung menghabiskan hari-harinya yang semakin kelabu, melukis dan melamun. Melukis dan melamunkan seorang yang sama, dengan wajah yang sama, wajah yang selalu menghias dan menguras semua pikirannya.
“Mengapa kau pergi secepat itu, ketika kita sudah berjanji untuk sehidup semati? Apa kau tau, kau nampak sangat cantik mengenakan gaun putih keemasan itu dan saat itu adalah saat yang paling kita dambakan selama ini…” Batin Agung saat mengenang kekasih yang sangat ia cintai.
Tak terasa air mata Agung selama bertahun-tahun itu telah mengering dilarut kesedihan yang menderu dan akhirnya mampu mengubah rona wajah, tubuh dan sifatnya hingga menjadi seorang lelaki paruh baya yang semakin tidak berdaya, rapuh lemah dan acuh. Dahulu ia adalah seorang lelaki kuat, ramah dan penyayang namun semenjak peristiwa itu, dunia Agung seperti dijungkirbalikkan, usia dan waktu menggerogoti dirinya dengan sia-sia sehingga ia tidak mau dan seakan tidak mempunyai waktu untuk mengurusi keadaan dirinya sendiri. Kini ia hanya bernafas dengan kenangan dan masa lalunya.
“Sudah pagi Ndoro. Di meja makan sudah saya persiapkan sarapan pagi kesukaan Ndoro Agung, apa perlu saya antarkan ke mari Ndoro?”
Suara dari pelayan setianya itu rupanya telah menyadarkannya dari lamunan. Namun, tanpa memalingkan dan menengokkan wajahnya dari kanvas dan tanpa banyak bicara Agung hanya mengisyaratkan dengan tangannya untuk tidak mengganggunya, Pak Samin pun segera bergegas pergi meninggalkannya sendiri kembali di sebuah ruangan yang lembab, ruangan yang penuh lukisan-lukisan Dinda dan sedikit lukisan yang lain. Ruangan yang selama ini ia tempati dan ruangan yang membuatnya selalu terjun dalam dunia khayalannya.
Tangan-tangan yang kuat kini semakin jelas urat-uratnya karena kulit yang sudah mulai mengeriput membalut tulang yang mulai rapuh. Ternyata di usia yang ke empat puluh dua itu membuat tubuhnya terlihat seperti lima belas tahun lebih tua dari usianya, tidak ada yang dilakukannya selama ini selain duduk emnghabiskan waktu dan mengarungi kesedihan yang terus berlarut.
Label: Cerpen, Lukisan Hitam
Click for Komentar