So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 25/06/13 | @ 09.50

Cerita Sebelumnya:


PENGABDIAN TULUS (Bagian 2)

Aku sudah mulai bosan dengan tingkah Apakku yang terlihat bijaksana di mata Mak. Dia menurutku sudah begitu keterlaluan, berulang kali Mak ditipunya. Dulu Apak menyuruh Mak berangkat keluar Negeri untuk menjadi babu.

“Pergilah, Misnah, pergilah kau ke Arab, aku yang akan menjaga tanah dan sawahmu. Kita tak harus hidup miskin terus-menerus seperti ini bukan?” Jika kau kerja di Arab tentu saja kita akan cepat kaya seperti tetangga-tetangga kita yang lain itu lho!”

Sedikitpun Mak tidak membantah ucapan Apak. Mungkin Mak menganggap suaminya adalah orang yang amat bijaksana lagi penyayang terhadap keluarga. entah apa ia belum mengerti segala sifat Apak atau ia hanya menuruti perintah Apak seberapapun bejat kelakuannya. Yang pasti aku tak tahu dan itu menjadi misteri tersendiri dalam hidupku.

Beberapa bulan kemudian Mak berangkat ke Jakarta untuk training jadi babu. Yah, sampai akhirnya ia mengabarkan bahwa dalam waktu dekat, ia akan segera diberangkatkan ke Arab Saudi.

Apak, seperti kegirangan mendengarnya. Aku tak tahu, apakah Apak tidak merasa sedih dan kehilangan, dan mengapa ia begitu rela membiarkan Mak kerja jadi babu di negeri orang. Begitu banyak pemberitaan di media massa tentang tindak kekerasan terhadap para babu, tapi itu tak menyurutkan niat keduanya.

Aku hanya dapat berkata dalam batin.” Pak, apa dirimu tak kasihan sama Mak??!” Apak, bagiku adalah penipu ulung yang tega-teganya mempermainkan Mak.

Dalam hidupku yang jauh dari Mak, aku merasa sepi dan sendiri. Apak berulang kali kawin dengan wanita jalang, dan sedikitpun ia tak memperhatikan diriku. Ia jarang pulang ke rumah, sebulan, dua bulan, tak kuhitung pastinya. Makin hari tubuhku kian kurus kerontang memikirkan nasib keluargaku tapi aku tak dapat berkutik.Yang terpenting bagiku adalah bagaimana aku dapat mempertahankan hidup.Tanpa Mak, makan sepiring dalam satu hari adalah anugerah yang terindah dalam hidup. Tapi kesendirian itu akan lebih membahagianku, ketimbang ada seorang Apak yang bengis dan cerewet.

Kepulangan Apak dirumah akan menimbulkan perkara saja. Seringkali ia terlihat mabuk sambil mengeluarkan kotoran busuk di mulutnya. Ikut pula istri entah yang keberapa, ke sepuluh, dua puluh entah aku tak tahu. Akupun menegurnya.

“Pak, lebih baik kau pergi dari kampung ini, apa kau tak malu dengan warga kampung kita pak?” Ia pun dengan segera mengata-ngataiku Anak gila, sinting, edan, kutu kupret dan entah beribu-ribu cemoohan datang menenggelamkanku dalam tangis. Yang lebih parah lagi, uang hasil jerih payah Mak dihambur-hamburkan begitu saja, bahkan sawah dan tanah harta peninggalan waris keluarga Mak, ikut habis terjual.

Aku hanya bisa diam dan tak ada air mata yang menetes lagi, Air mata itu telah menjadi gumpalan emosi yang terbelenggu dalam batin dan jiwa.

* * * * *
B E R S A M B U N G

Label: ,