So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 25/06/13 | @ 09.57

Cerita Sebelumnya:


PENGABDIAN TULUS (Bagian 4)

Beberapa bulan kemudian kehidupanku berjalan dengan indah tanpa kehadiran seorang Apak. Meskipun hari-hariku kuhabiskan untuk membantu Mak Berdagang di warung yang didirikannya di rumah reot yang kecil ini. Padahal biasanya, anak seusiaku ini lebih sering bermain dan belajar daripada membantu orangtuanya. Aku tidak demikian, bagiku ini adalah hidup yang memang harus kujalani dengan penuh pengabdian kepada orangtuaku. Bagaimana tidak, tak ada lagi harta yang tersisa, hidup dengan berdagang di warung hanya cukup untuk makan dan biaya sehari-hari.

Setiap pagi, aku tak tega dengan pekerjaan Mak yang segunung, dan kulihat tumpukan baju dan cucian peralatan rumah tangga sudah menumpuk. Maka, akupun dengan segera membantu menyucikan bajunya itu disungai.

Dengan tergesa-gesa, aku yang sedang keasyikan mencuci baju di kali disuruhnya pulang.

“Ayo nak cepatlah pulang,dan buatkan pisang goreng hangat ya!”

“Ah, tak seperti biasanya Mak, seperti itu, ada apa ini.” gumamku

Saat aku menjejakkan kakiku di rumah, Hah betapa terkejutnya diriku srigala busuk itu kini telah kembali.

“Mak, apa kau tahu dia itu telah menghianatimu Mak, dia itu licik!

“Diam kau anak anjing, atau kucekik lehermu!” lolongan srigala itu menyeruak

“kucincang mulutmu!” aku dengan segera menyahutnya

“Apa??”Berani-beraninya dirimu mengata-ngataiku. Apa kau tak cukup puas dengan sikap kami yang dari kecil merawatmu?”

“Diaaaamm!!!!!” pekik Mak

“Sudahlah nak, Makmu ini sudah mendengar semua permasalahannya dari Apakmu itu, janganlah kalian bermusuhan lagi kita akan tinggal bersama seperti dulu” Ah, sepertinya Mak begitu riang menyambut kedatangan seorang yang tak patut dipercaya itu. Tapi, aku takkan tinggal diam saja, takkan kubiarkan Makku terbujuk oleh omong kosong srigala busuk ini. Aku berusaha untuk meyakinkan Mak.

“Apa yang harus, dipertahankan Mak? kenapa kita harus hidup bersama seperti dulu lagi?” dia itu pemalas, kerjanya hanya kawin, kawin, dan kawin.”

“Lihat saja, lihat saja Mak, mulut dan giginya seperti onta!” Apak langsung menampar wajah dan menjambak-jambak rambutku.

Timbullah perkelahian sengit diantara kami.

“Diamm!!!” Anak jadah, haram sialan!!!” Teriakan Mak itu langsung membuat dunia ini seakan terhenti. Aku merasa ada keganjilan dalam hidupku. Yah, kenapa Mak mengata-ngataiku anak jadah haram sialan, kenapa Apak selau mengata-ngataiku anak anjing???”

“Tidaaaakkkkk!!!!” aku berteriak, sekeras mungkin tubuhku lemas.

“Ada, apa ini?” Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan mereka berdua entah aku tak tahu, ataukah ini sebuah misteri bagi diriku? kegalauan itu bangkit dalam pikiranku. dan kucoba memberanikan diri bertanya kepada mereka.

“Mak, ada apa ini?” Pak apa yang kau sembunyikan dariku?. Tubuh Apak dan Mak kugoncangkan dengan sekeras-kerasnya.

“Kenapa kau selalu mengata-ngataiku anak anjing, kutu busuk? apa aku ini anak haram pak?” bapak diam saja” Ayo,jawab kenapa kalian hanya diam saja!” Apa kamu ingin anakmu ini mati di depanmu Mak? Mak, hanya menangis dan seakan terbujur kaku, pedih, perih. ia berusaha menjawab dengan tenang.

“Nak, tahukah kau bahwa kau bukanlah anak kami!”. Seperti ada petir di siang bolong yang menyambarku. Air mata bercucuran darah, menghempas relung hati yang dalam, menusuk jiwa yang kosong, hampa, tak ada daya.

“Ini semua tak perlu kau sesali dan terimalah permintaan maaf dari Mak dan Apakmu ini nak, selama ini Mak tak pernah menceritakan padamu, karena aku tak ingin kehilangan dirimu.” Sebenarnya ini semua adalah salah Mak, Mak tak bisa memberi keturunan terhadap Apakmu, dan sebagai pelampiasannya Apakmu kawin dengan banyak wanita karena dia ingin mendapatkan keturunan dari dia sendiri. Sebenarnya engkau adalah anak dari orang gila yang kami pungut di jalan.”

Tatapan dan jiwaku makin kosong, tubuhku begitu lemas dan kaku, aku hanya bisa meneteskan air mata, aku ingin berlari dan berteriak sekeras-kerasnya, bahkan jika dapat, aku ingin mengabarkan kepada seluruh dunia bahwa aku ini anak orang gila. Tapi, apa daya diriku yang terbujur kaku dan lemas ini. Sudah sepatutnya aku berterimakasih kepada mereka berdua. Tanpa mereka, aku tak tahu bagaimana aku bisa mengirup segarnya udara, melihat dunia, merasakan tangis, canda maupun tawa. Tanpa mereka, mungkin aku takkan ada artinya.

“Oh tuhan, sujud syukurku kepadamu, masih ada orang yang mau mengasuhku, segenap pengabdian dan cinta kasih ‘kan tulus kuberikan untukmu, Pak, Mak!

* * * * *
T A M A T

By: Dina Merdeka

Label: ,