So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 26/06/13 | @ 09.32

Cerita Sebelumnya:


POHON KENANGA DI DEPAN RUMAH (Bagian 2)

Walaupun awalnya aku merasa cukup senang bisa bercakap-cakap dengan embah dan mengobati rasa rindu pada cucu-cucunya, aku tetap saja merasa bosan di tempat yang sepi ini. Aku adalah orang yang paling tidak bisa membuang waktuku percuma. Karenanya aku memaksa seorang sepupuku memancing di bendungan. Masyarakat desa itu menyebut tempat itu dengan ‘wadukan’. Mereka sering memancing disini karena begitu banyak ikan yang hidup bebas di bendungan yang dianggap cukup angker itu. Tidak ada seorangpun yang memiliki hak paten mengakui bahwa ikan-ikan itu adalah miliknya, walaupun pak RT adalah orang yang paling sering menyebar benih di wadukan.

Ketika tiga ekor mujair sebesar telapak tangan adikku yang paling kecil telah masuk ke dalam kaleng kami, seseorang memanggilku” Da… Ida! Ayo cepat pulang. Tante Surabaya dan mbak Lilin datang.” suara Pakdhe Nung. Aku terkejut mendengar mendengar suaranya yang tiba-tiba saja, tapi rasanya lebih terkejut lagi sewaktu mendengar berita yang dibawanya.

Segera kukemas peralatan pancing sederhanaku yang terbuat dari sebatang bambu dari ‘hasil kebun sendiri’. Buru-buru kutarik tangan sepupuku. Rasanya senang sekali kedatangan tamu dari kota.

* * * * *

“Aduh mbak Lilin ini kok ada-ada saja! Belum pantas. Lihat saja tingkahku yang masih seperti ini. Angin-anginan!”

“Da, kalau kamu hidup di desa ini pasti kamu sudah punya anak lima sekarang.” Semua orang tertawa mendengar perdebatanku dengan mbak Lilin tentang pernikahan yang harus segera aku pikirkan. Suasana di rumah embah yang sempit semakin ramai saja. Berbeda dengan tadi pagi yang membosankan.

Acara temu kangen keluarga memang selalu begini rasanya. Ramai. Saling berebut berceloteh menceritakan pengalaman masing-masing dan hal-hal lainnya. Yang dari kota sibuk menceritakan barang yang paling digemari abad ini melebihi rasa senang apabila diberi uang puluhan juta rupiah. Telepon genggam, atau orang-orang lebih simpel menyebutnya HaPe. Benda yang pada umumnya mempunyai ukuran tidak melebihi lebar telapak tangan. Sedangkan yang seumur hidup hanya tinggal di desa juga antusias menceritakan panen musim lalu yang sangat melimpah juga binatang ternak yang tahun ini jumlahnya telah dua kali lipat dari dua tahun yang lalu.

Hari ini benar-benar suasana yang menyenangkan setelah sekian lama aku mengalami kebosanan. Duduk-duduk bersama di taman yang indah milik nenekku dengan orang ‘kota’ yang ‘sepaham’ denganku dan mengerti apa yang aku bicarakan. Sedangkan nenekku, walaupun tidak mengetahui apa yang kami bicarakan, dengan bijaksana beliau selalu memperhatikan kami. Sesekali aku melirik, aku menyadari tatapan harunya pada kami. Ya, aku menyadarinya. Bagaimana nenekku tidak bahagia jika melihat anak cucunya begitu rukun seperti ini?

“Kenapa kenanga itu di tanam di situ!” tiba-tiba Tante Yuli yang kami panggil dengan Tante Surabaya mengeluh.” Untung disini tidak punya anak gadis, kalau iya… bisa jadi perawan tua dia!”

Aku masih tidak mengerti,” Kenapa Tante? Apa hubungannya?”

“Menurut orang-orang jaman dulu, orang yang menanam pohon kenanga di depan rumah, bisa bikin anak gadisnya tidak laku kawin. Katanya dikeloni Genderuwo!”jawab bibiku sambil menggigil.

Aku tertawa. Tanteku walau tinggal di pusat kota sebesar Surabaya, masih sangat percaya pada takhayul dan mitos.

“Ah, Tante, itu cuma takhayul!”, aku sama sekali tidak mempercayainya.

“Iya, bener Da. Itu memang benar tetanggaku saja sekarang jadi perawan tua, umurnya sudah 35 tahun tapi belum kawin-kawin?” mbak Lilin menyahuti.

“Iya Da!”, Tante Yuli bertambah yakin.

“Jodoh kan Tuhan yang menentukan, Tante, bukan pohon kenanga.”

Nenekku hanya tersenyum. Perdebatan pohon kenanga yang bisa menyebabkan perawan tua tetap berlanjut. Sampai perdebatan itu diakhiri karena waktu makan malam telah tiba, aku tetap tidak percaya pada takhayul itu

Tante Yuli dan anak perempuannya kembali ke Surabaya keesokan harinya, sedangkan aku segera menyusul pulang sehari kemudian, tetap dengan angkutan yang hanya beroperasi sekali dalam sehari.

* * * * *

Label: ,