So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 26/06/13 | @ 09.23

POHON KENANGA DI DEPAN RUMAH (Bagian 1)

“Ida, kenapa sih sesulit itu mengunjungi nenekmu? Kamu tidak merasa kasihan?”, wanita yang kupanggil ibu itu menghela nafas.” nenekmu itu sendirian di sana dan kalau kamu tahu, beliau sangat merindukanmu.”

Aku merasa memiliki argumen yang kurasa tepat untuk menjawab rajukan ibuku itu,” Kalau ibu merasa kasihan pada embah, kenapa tidak diajak tinggal bersama kita saja disini, Bu? Beres kan?”

“Kamu kan tahu sendiri embahmu itu. Mana rela meninggalkan kebun kopi dan ayam ternak juga kambingnya itu, nduk!” Ibu sewot saja menjawab.

“Aah…mbah..mbah…! Apa sih yang membuatnya seberat itu pada desa itu? Sepi, tidak punya ‘tetangga’. Transportasi juga, ya ampuuun…..sulitnya setengah hidup ,Bu! Aku pernah tahu temanku waktu pulang ke kampung halamannya dengan kereta api yang selalu harus memperhatikan jam, walaupun itu bisa 3 kali dalam sehari. Tapi kalau ke rumah embah, hanya ada satu jenis angkutan dan itupun hanya sekali dalam sehari. Disana juga tidak ada telepon. Ya kan Bu? Sekarang bagaimana? Masih tidak ada ya? Betapa terpencilnya. Aku sempat curiga apakah orang-orang di desa itu masih berkirim surat dengan merpati, Bu!”

Ibu mulai merasa sebal dengan asumsi konyolku” Sudahlah Da, jangan diperpanjang lagi. Dengarkan Ibu! Besok kamu tetap harus mengunjungi nenekmu. Kamu bisa mengambil cuti kantor yang tidak pernah kamu ambil kan?”

Alasan apapun kurasa tidak dapat mengubah keputusan beliau, jadi kuputuskan mengalah.” Ya Bu, okelah. Tapi hanya tiga hari, tiga hari tidak lebih!”, jawabku sambil berlalu mempersiapkan koper kecilku. Tiba-tiba ibu meneriakiku,” O ya Da, harusnya kamu masih bisa bersyukur karena di sana sudah ada listrik masuk desa haha…”

“Ah ya bu, tertawalah… untung di sana ada listrik masuk desa!” batinku sambil terus mengemasi barangku. Siang itu juga aku berangkat menginap di rumah Budhe Tatik. Agar besoknya bisa naik angkutan desa yang hanya beroperasi 1 kali dalam sehari. Tentu saja angkutan yang membawaku ke desa terpencil nenekku.

* * * * *

Esoknya sampai juga aku di rumah sederhana dimana ibuku dilahirkan, rumah mbah Surtinah. Seperti kebiasaannya sejak dulu, beliau menyambutku dengan bercucuran air mata.” Oalah nduuk…nduk. Sudah lama banget kamu nggak kesini. Kok tambah gedhe kamu ya?”.

“Ah embah sudah lupa ya kalau aku sudah 26 tahun sekarang?”aku membatin.

“Gimana kabar ibukmu? Huk..huk.. Mbahmu ini sudah kangen sama kalian, terutama kamu. Oalaah…Oalah..” tidak ada lagi yang diucapkan oleh mbah. Yang ada hanya air mata yang terus meleleh dari matanya. Sambil memelukku dan tiada henti-hentinya membelai punggungku.

Walaupun aku datang dengan terpaksa ke desa yang hanya ada jangkrik sebagai hiburan umum pada malam harinya ini, toh tetap saja aku merasa terharu dengan kerinduan nenekku. Akupun, tanpa kusadari telah ikut-ikutan terisak-isak dipelukan wanita bijaksana yang telah puluhan tahun menjanda itu.

“Alhamdulillah mbah, kami baik-baik saja. Maafkan Ida mbah, tidak pernah mengunjungi. Pekerjaan di kantor sangat banyak…”, aku memberikan alasan bohongku. Padahal di sela-sela hari libur kantorku aku masih bisa menyempatkan diri berkeliling Bali bersama teman-teman kantorku.” Bahkan Ida sering lembur di kantor mbah…” kutambahkan lagi alasan bohongku.

“Sudah nduk… nggak popo. Yang penting kamu sekarang sudah disini. Mbah sudah senang.”

* * * * *
B E R S A M B U N G

Label: ,