Cerita Sebelumnya:
LUKISAN HITAM (Bagian 4)
“Berhenti Samin! Jangan kau teruskan lagi! Dindaku sudah mati, mati terkubur bersama tanah-tanah yang melumat habis Dinda yang kucintai. Semua ini gara-gara si picik Argo yang menghabisinya…” Tak mampu lagi Agung berbicara dan hanya mengeluarkan air mata yang telah lama membeku dalam kerasnya hati yang tidak dapat menerima kepergian Dinda sehingga membuatnya menjadi dingin sedingin hatinya kepada siapa pun termasuk bibi yang menyayanginya.
“Iya Ndoro Agung, Ndoro Ayu Dinda memang telah meninggal tapi ia selalu ada di sini menemani Ndoro. Apa Ndoro tidak menyadari Ndoro Ayu selalu melihat Ndoro dalam kesedihan dan kesendirian. Setiap Ndoro melukiskan wajah Ndoro Ayu, hingga jumlah sedemikian ini ia tetap setia menemani dalam hati dan tidak akan mati, tapi perasaan ketakutan dan kehilangan telah mematikan Ndoro Ayu Dinda di hati Ndoro. Dalam benak Samin yang sudah renta ini, Ndoro Ayu tetap hidup begitu pula di hati orang-orang yang sangat menyayangi Ndoro Ayu, mengapa Ndoro Agung tidak sadar juga?”
Agung hanya menundukkan kepalanya dan tidak mampu melihat ke wajah pelayan setianya itu, ia hanya tertunduk menahan deraian air matanya. Agung tidak mengira orang yang selama ini diam dan selalu setia kepada dirinya kini mampu mengeluarkan kata-kata yang dapat membuatnya tersadar dari mimpi dan lamunan panjangnya. Pak Samin sudah tidak sanggup lagi melihat tuannya yang dilarung kesediahan dan membuat dirinya berubah menjadi seperti orang lain. Dengan suaranya yang tergetar Samin berkata pada tuannya.
“Ndoro ingat bagaimana pesan terkhir Ndoro Ayu? Ia berpesan pada Ndoro untuk tidak bersedih, selalu ceria meskipun Ndoro Ayu tidak dapat selamanya mendampingi hidup Ndoro? Dan meskipun tidak lagi hidup jasadnya, Ia akan selau hidup di hati Ndoro, mengawasi dan menemani sampai pada akhirnya dapat bersatu kemnbali ke dalam dunia yang abadi Ndoro… Apa ndoro telah melupakan janji itu?” Kini tangis Samin tak dapat dibendung lagi dan mengucur deras membasahi lap yang ada ditangannya.
“Iya Pak Samin, Kau benar… sekarang tinggalkan aku sendiri, aku ingin bersama Dindaku saat ini.”
Pak Samin pun berlalu meninggalkan tuannya dalam ruangan yang tak pernah ia tinggalkan. Tanpa bosan ia melamun dan merenungkan hidupnya bersama kenangan-kenangan indah yang telah membenamkannya dalam kesendirian dan kesedihan. Ucapan Pak Samin telah membangunkan jiwa dan pikiran Agung yang selama ini tertidur. Saat itu pula, ia teringat bagaimana keadaan bibinya dan kesalahannya yang telah tidak memperdulikan si Samin pelayan setianya selama ini. Karena perkataan Pak Samin, Agung berbenah membuang lukisan gelapnya hanya menyisakan lukisan-lukisan indahnya saat masih bersama dengan Dinda dan menghiasi kediamannya bersama lukisan Dinda yang selalu tersenyum damai menemani Agung.
Pada malam itu juga, Agung dapat merasakan kehadiran Dinda dalam malam yang tenang itu. Dengan senyum manis yang menghias di wajah Dinda, Agung menangkap maksud kehadiran Dinda di malam yang tenang dan Agung seperti berbincang dengan Dinda penuh mesra dan hangatnya.
“Mas Agung, Dinda selalu ada buat Mas Agung sampai kapan pun… Mas Agung selalu ada di manapun Dinda berada…”
Dalam senyum itu, Agung merasa terlelap tertidur pulas dan melayang-layang bersama Dinda dan sangat bahagia, hingga tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi dengannya karena pulasnya ia tertidur dalam keheningan malam yang penuh ditaburi bintang-bintang kebahagiaan.
By: Nining Dwi Puspaningrum
Label: Cerpen, Lukisan Hitam
Click for Komentar