So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 26/06/13 | @ 09.05

Cerita Sebelumnya:


LUKISAN HITAM (Bagian 3)

Kenangan yang manis itu juga telah mengingatkan pula pada kenangan yang sangat menyakiti hatinya, yaitu ketika malam perayaan pesta pernikahan yang sangat dinantikan oleh keduanya.

Pesta pernikahan yang dirayakan secara meriah di sebuah tempat yang mewah di sebuah taman lengkap dengan gedung eksklusif beserta hiasan-hiasan bunga, janur dan kelambu-kelambu bertemakan warna merah muda semakin turut memeriahkan pesta dan menambahkan kesan yang sangat dalam bagi kedua mempelai yang dimabukkan kebahagiaan. Hidangan-hidangan mewah tertata dengan rapi dan indah memikat lidah. Gelak tawa dan senyum para tamu undangan menghiasi suasana pesta yang meriah itu. Gemerlap lampu-lampu, kamera dan syuting video mengabadikan momen terindah Agung dan Dinda dengan tiada hentinya terus menyorot kedua mempelai yang sangat anggun dengan gaun yang berwarna putih perak yang dipadukan dengan dekorasi tata ruang yang romantis, membius seluruh tamu undangan yang juga terlarut dalam kesyahduan dan kesakralan peristiwa itu.

“Pengantinnya serasi ya Jeng Sinta, pengantin prianya tampan dan gagah trus pengantin putrinya juga gitu terlihat begitu cantik pake gaun putih kayak pasangan Raden Janaka dan Sembadra.”

“Iya Jeng Neti memang sangat serasi, Agung bahagia sekali lo, saya masih ingat dulu gimana Agung mengenalkan Dinda, anaknya sopan, lembut dan baik.”

“Pastinya Jeng Sinta turut bahagia ya melihat keponakannya sekarang sudah menikah dan jadi pengantin, apalagi calon keponakan barunya juga sangat cantik”.

“Tentu saja Jeng, saya sudah menganggap Agung itu seperti anak saya sendiri dan Dinda juga sudah jadi bagian dari keluarga besar Mangun Kusumo saat diperkenalkan Agung dulu pada semua saudara-saudaranya.”

Agung dan Dinda terbawa dalam suasana bahagia yang turut diiringi alunan musik-musik romantis yang menandakan betapa bahagianya kedua pengantin yang sedang dilarung indahnya cinta. Namun, kemeriahan dan kebahagiaan itu hanya bersifat sementara dan menghilang selamanya di hati Agung. Saat itu, tanpa diduga secara tiba-tiba muncul Argo dengan kondisi berpakaian lusuh, berantakan dan menggegerkan acara bahagia Agung dan Dinda.

“Hai Agung, kau kira dengan menikahi Dinda kau bisa bahagia? Tidak Agung, tidak!”

“Mau apa kamu datang kemari?” Timpal Agung berusaha meredakan dan mengendalikan suasana yang berubah menjadi tegang.

Suara yang menggelegar muncul dari mulut Argo yang sedang dimabukkan minuman setan dan sambil mengacung-acungkan tangannya Argo seperti memberi tanda untuk menantang Agung berkelahi. Dengan suara yang terbata-bata dibawah kendali minuman keras Argo berteriak dan mengatakan kebenciannya pada Agung.

“Mau apa, katamu? Tentu saja aku datang kesini hanya ingin melihat musuhku menjadi pengantin yang sedang berpesta pora, menari-nari di atas kesengsaraanku setelah merebut kekasih dan mengambil semua pelangganku dengan menawarkan dan memamerkan lukisan-lukisan konyolmu itu!”

“Pergi kau dari sini pemabuk, perlu kau tau tak secuil pun aku ingin merebut semua pelanggan dan penggemar karya-karyamu, jadi dengan hormat aku mohon kau pergi dari tempat ini!”

“Pergi katamu? Tidak, tidak Agung tidak segampang itu kau mengusir seorang Argo, Argo seniman yang ternama di seluruh kota metropolitan ini! Siapa yang tidak mengenal Argo, dan kau Agung Mangun Kusumo yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Argo, keluargamu menjadi terpandang karena usaha ayahku yang memberikan belas kasihan kepada keluargamu dan kini dengan seenaknya kau telah menghancurkan seluruh hidupku, kini lihat perempuan itu! kau akan menangis karenanya!’.

Dengan tindakan yang sangat cepat dan sigap, Argo mengambil belati yang diselipkannya di balik bajunya dan menggelandang Dinda dengan paksa. Dan pada saat itu pula, Argo dengan cekatan menancapkan belati yang ia bawa sebelumnya di perut Dinda tepat di sebelah kiri dan peristiwa itu menyebabkan pendarahan hebat ditubuh gadis yang masih muda belia itu. Dalam keadaan lemah dan tak berdaya, Dinda mengucapkan kata-kata terakhirnya kepada kekasihnya.

“Mas Agung… Maafkan semua kesalahan yang telah Dinda lakukan, maafkan jika Dinda tidak dapat membahagiakan Mas Agung dengan menjadi isteri Mas Agung yang baik maafkan Dinda tidak bisa mendampingi Mas Agung…maafkan, jika…”.

“Sudah cukup hentikan Dinda, hentikan…!”

“Maafkan, maafkan, maafkan…”

“Tidak…!”

Seketika itu Agung tersadar dari lamunannya dan kembali menatap lukisan yang telah ia lukis semalaman.

“Memang seperti inilah diriku ini, hitam, gelap, tanpa cahaya yang menerangi dan mendamaikan hidupku seperti latar pada lukisan di balik cantik parasmu, aku telah mati tak jauh berbeda dengan lukisan mati ini. Hanya biasan-biasan dari lukisan ini yang mampu mewarnai sisa hidupku yang tiada arti. Tanpa objek tanpa kasih… mati dan mati tiada bersisa...”

Mendadak Pak Samin muncul dan mengagetkan tuannya dengan mengatakan,” Tidak, itu tidak benar Ndoro… yang benar, lukisan itu tetap hidup dan berarti. Meskipun itu hanyalah berupa lukisan belaka tetapi Ndoro melukisnya dengan penuh cinta dan lukisan itu mempunyai nyawa, nyawa yang ada dalam benak hati Ndoro sendiri hingga sampai saat ini Ndoro masih melukis Ndoro Ayu Dinda yang…” Belum sempat berakhir perkataan Pak Samin, Agung telah memotong perkataannya dengan sangat kasar.

* * * * *
B E R S A M B U N G

Label: ,