Cerita Sebelumnya:
MENJELANG KEPERGIAN IBU (Bagian 4)
Pukul 13.00
Saudara-saudaraku yang ada di Pasuruan sudah datang semua. Kami bersama-sama membacakan surat
Yasin supaya ibu dimudahkan saat sakaratul maut.
pukul 18.00
Tetes air mata terus mengalir dari mataku dan semua saudara-saudaraku. Ibu masih tidak dapat mengingat. Aku dan kedua adikku sudah mengikhlaskan ibu agar ibu bahagia di alam akhirat nanti.
ibu seperti ini. Maafin kita ya, Bu. Kita sayang Ibu. Terus istighfar, Bu.” kataku masih dengan menangis.
“Emak.. tolong aku, Mak. Aku diikat di atas. Tolong aku, Mak.” kata ibu.
Aku langsung ingat waktu ibu kesetanan dulu saat diruqyah. Setannya dulu ngomong klo menyantet ibu dengan cara mengambil sesuatu dari tubuh ibu (aku kurang tahu apa itu) kemudian mengikatnya di loteng rumah Parmi tersebut.
Pukul 22.00
Kondisi ibu semakin parah. Bola matanya sudah tidak nampak, yang ada hanya mata yang berwarna putih. Bisikan-bisikan kata Allah slalu dibisikkan di telinganya.
“Istighfar, Bu. Allah... Allah...,” bisikku di telinga Ibu.
“Bu, maafin aku dan adik-adik ya. Selama ini kita nakal pada ibu. Kita ikhlaskan ibu agar ibu tenang di alam sana. Ibu juga ikhlaskan kita ya,” bisikku dengan air mata yang berlinang.
Ibu mengeluarkan air mata di ujung matanya yang putih itu. Ibu mungkin terharu mendengar kata-kataku.
“Maafin aku ya, Bu. Ibu jangan menangis. Ntar kita tambah sedih liat
2 Februari 2004
“Ibu... Ibu...,” teriakku saat ku lihat ibu sudah tidak bernyawa setelah aku bisikkan kata terakhir, aku berjanji akan jaga adik-adikku. Adik-adikku histeris melihat kenyataan itu. Adikku yang paling kecil meraung-raung tidak karuan. Aku langsung memeluk mereka.
“Sabar ya sayang. Kita ikhlaskan Ibu. Apa adik ingin Ibu sakit terus? Mending Ibu seperti ini daripada sakit terus,” bujukku pada adik kecilku.
“Gak mau... gak mau... ibu gak boleh mati,” teriak adikku.
Tiba-tiba denyut jantung ibu berdetak lagi. Dokter yang dipanggil untuk melihat apakah ibu sudah tidak bernyawa mengatakan klo detak jantung ibu berdetak lagi. Bapak dan saudara-saudaraku menenangkan ibu supaya ibu mengikhlaskan anak-anaknya.
“Sudahlah, Bu. Ikhlaskan anak-anak. Anak-anak biar aku yang jaga,” bisik Bapak menenangkan ibu.
“Aku sayang kamu, Bu,” bisik bapak.
Setelah bapak dan saudara-saudaraku menengkan ibu, denyut jantung Ibu tidak ada lagi. Kami semua mengikhlaskan ibu pergi dengan tenang.
Kami tidak mau ibu tersiksa di dunia hanya karena penyakit kiriman dari orang lain. Lebih baik ibu berada di alam sana memetik kebaikan yang selama ini telah ibu tanam.
Ibu, semoga engkau damai di alam sana. Doaku selalu mengalir untukmu.
By: Fika Rahmawati
Label: Cerpen, Menjelang Kepergian Ibu
Click for Komentar