So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 27/06/13 | @ 11.12

Cerita Sebelumnya:


BINTANG DI LANGIT JOGJA (Bagian 2)

Aku ingat benar kejadian sore itu. Sekedar berbasa-basi dalam bertetangga, aku berkunjung ke rumah tetangga baru. Yang kutahu, hanya dihuni oleh seorang ibu paroh baya dengan pembantunya. Beliau menyambutku dengan sangat hangat. Dari ceritanya aku tahu suaminya telah tiada. Dia hanya tinggal dengan si bungsu namanya Laila, yang saat ini sudah hampir menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UGM. Dua anaknya yang lain tinggal di luar pulau. Tiba-tiba dari pintu depan muncul seorang gadis dengan paras lembut. Kerudung warna krem yang dipakainya serasi dengan kaos yang dikenakannya. Segera aku tahu dia adalah si bungsu yang diceritakan bu Widi yang untuk sekarang dan seterusnya aku panggil Omi, seperti Lala memanggil ibunya.

“La, ini tetangga baru kita,” ucap Omi. Gadis itu mendekat.

“Azka.” Aku mengulurkan tangan memperkenalkan diriku sebagai tetangga baru dengan ramah. Dia menjabat tanganku dengan malas. Dan astaga, dia memandangku sekilas, dan dengan wajah tanpa ekspresi dia berkata” oh” lalu pergi begitu saja tanpa menyebutkan nama. Ibunya hanya geleng-geleng melihat tingkah putrinya itu. Omi meminta maaf atas kejadian itu dan mengatakan jika Lala memang gadis yang sedikit cuek, mungkin karena masih asing dan hobinya berpetualang dengan alam. Aku hanya tersenyum saja memaklumi. Dalam hati aku berkata ia tidak hanya super cuek, tapi juga sedikit nggak sopan. Berbeda sekali dengan ibunya yang sangat menjaga sopan santun.

Hari-hari berikutnya kulalui dengan gembira. Hampir tiap hari aku menghabiskan waktu di rumah itu. Sarapan pagi, minum teh sambil berbincang-bincang dengan Omi, hingga ritual makan malam yang selalu berkesan. Tiga bulan aku tinggal di kota gudeg, aku semakin dekat dengan keluarga Omi. Aku akrab dengan Mas Fajar, yang ternyata adalah teman kuliah mas Ari. Dengan mbak Laras yang kini ikut suaminya di Palembang pun aku sering berkomunikasi untuk berkonsultasi tentang struktur tanah di Jogja. Hanya seorang saja yang tetap menganggapku gak ada. LALA!! Aku sudah mendengar banyak cerita tentangnya, tentang hobi-hobinya, kebiasaannya, sifat-sifatnya, tapi tetap saja yang ku tahu dia gadis yang sama sekali tidak peduli akan kehadiranku. Padahal hampir tiap hari aku menghabiskan waktu dengannya. Tidak banyak kata yang dia ucapkan, tipe cewek yang nggak suka basa-basi. Meskipun dia tinggal menunggu ujian skripsi, aku tak pernah melihat dia memegang buku, kecuali novel, majalah travelling, dan tentu saja peralatan campingnya. Dia membuatku menghabiskan waktu dalam penasaran yang berkepanjangan. Hingga suatu pagi di bulan Januari aku mendapat sms dari mas Ari yang bilang hari itu Lala ulang tahun. 24 Januari. Mungkin ini kesempatan bagiku mendekatinya. Karena terus terang saja aku tertarik dengan pribadinya yang sedikit” aneh”. Karena menurut cerita, dia adalah pribadi yang hangat dan penuh canda. Aku sering melihat dia seperti itu, dengan Omi, mas Fajar, yu Yem, dan mbak Laras. Tapi tidak dengan ku. Jangankan canda tawa, tersenyum pun padaku tidak pernah. Ada apa denganku? Kadang aku bercermin berlama-lama supaya mendapat alasan mengapa dia seperti itu. Tapi tak kutemukan apa pun kecuali bayangan lelaki matang, sukses, lumayan ganteng, dan dikejar-kejar banyak wanita. Mungkin sedikit sombong, tapi itulah kenyataannya.

Pada hari ultahnya itu aku ingin memberi surprise ke Lala. Sebuah liontin berbandul bintang. Tapi dia menerimanya dengan wajah cuek dan ucapan” thanks”, gak lebih. Aku gak tahu lagi harus gimana menghadapi kecuekannya itu. Dua hari berikutnya dia berkunjung ke rumahku untuk mengantarkan kue. Sebuah kejutan untukku. Seperti biasa tanpa ekspresi. Dia meneliti rumahku seperti polisi. Hingga dia berhenti pada fotoku ketika aku berada di puncak Jaya Wijaya. Ada keterkejutan yang kutangkap dari matanya. Dia memandangku dengan alis dikerutkan.

“Ini kamu Az??” tanyanya nggak percaya. Aku mengangguk mengiyakan.” Dulu waktu kuliah aku anak PALA,” jawabku.

“Kok kamu gak pernah cerita?” protesnya.

“Kamu gak pernah nanya,” jawabku agak ketus. Tapi dia gak peduli. Dia terus memandang fotoku dengan takjub dan senyum yang terkembang, tepatnya latar fotoku. Dia bercerita banyak tentang impiannya mendaki gunung-gunung yang ada di Indonesia. Tentang pengalaman-pengalamannya mendaki. Saking terkejutnya dengan perubahan sikapnya, aku sampai terbengong-bengong. Aku nggak percaya, hanya dengan sebuah foto, Lala yang super cuek jadi seorang yang banyak bicara dan menyenangkan. Aku menunjukkan foto-foto lain, dan dia luar biasa senang. Sejak saat itu aku mulai dekat dengannya, dia tidak lagi menganggap aku orang lain. Mungkin selama ini dia menjauhiku karena aku terlihat seperti anak mami yang manja dengan rambut rapi, tidak gondrong seperti dulu lagi. Kedekatanku dengan Lala semakin membuatku merasa gembira. Dia mengajakku berkeliling Jogja, ke Kaliurang, Borobudur, base campnya, hingga ke tempat biasanya ia nongkrong bareng teman-temannya. Perubahan yang mengejutkan. Aku merasakan perubahan itu juga dalam hatiku, sepertinya ada rasa lain yang membuatku selalu mengingatnya. Yang membuatku ingin cepat-cepat pulang dan bertemu dengannya.

* * * * *
B E R S A M B U N G

Label: ,