Cerita Sebelumnya:
BINTANG DI LANGIT JOGJA (Bagian 3)
Pertengahan April dia wisuda dengan predikat cumlaude. Ya, dia memang gadis yang cerdas. Aku sempat khawatir bukan main ketika tiba-tiba dia pingsan saat akan pulang. Kami membawanya ke RS terdekat. Aku meminta dokter untuk melakukan check up secara menyeluruh. Tapi kata dokter mungkin hanya kecapean dan hasil pemeriksaan laboratorium baru keluar sepuluh hari lagi. Aku lega. Dia pulang dengan wajah gembira. Menceritakan rencananya untuk mendaki Rinjani dengan kawan-kawannya. Kulihat dia baik-baik saja, hanya terlihat lelah.
Setelah kejadian wisuda itu, aku sibuk sekali mengatur jadwal. Hanya sesekali saja aku berkunjung. Karena aku lebih sering di lokasi dari pada di rumah. Ketika aku kembali, tiba-tiba kulihat semua sudah berubah. Lala sering terlihat murung, meskipun tidak mengurangi bicara dan tawanya, terutama jika ada di dekatku. Dia semakin sering berlibur, tapi tak pernah mau mengatakan tujuannya. Dia terlihat pucat dan kurus, mungkin karena terlalu sering mengadakan perjalanan jauh. Pertengahan Juli aku mendapat panggilan dari kantor pusat untuk kembali ke Bandung karena ada keadaan sedikit gawat. Aku semakin sibuk dengan pekerjaan yang semakin menumpuk.
Awal Agustus aku menyatakan perasaanku padanya, sekaligus mengatakan aku akan ditarik ke kantor pusat lagi. Dengan semua kebersamaan yang telah aku lalui bersamanya, aku yakin dia tidak akan menolak pinanganku. Karena aku tahu dengan pasti perasaannya padaku. Tapi yang terjadi justru di luar perkiraanku, dia hanya diam dan mengatakan,” Aku tidak keberatan dengan kepergianmu Az.” Tentang pinanganku dia sama sekali tidak berkomentar, tidak memberi jawaban.Yang dia inginkan hanya mewujudkan impiannya mendaki Rinjani. Bahkan ia mengatakan akan berangkat sepuluh hari lagi yang berarti tiga hari sebelum keberangkatanku. Aku tahu mungkin itu sebuah penolakan untukku.
Hari-hari menjelang keberangkatanku dia tetap bercanda seperti biasanya, tertawa sepeti biasanya, bahkan sikapnya denganku juga seperti biasanya, tidak berubah sedikit pun dan juga tidak menyinggung tentang pinanganku. Dan ketika dia berpamitan untuk berangkat ke Rinjani dia meminta maaf padaku. Dia tidak ingin aku mengantarkannya ke Bandara.
“Thanks Az buat semuanya. Jaga diri baik-baik. Sukses ya...” itu kata terakhir yang kudengar darinya. Dan karena itu semua, aku sekarang berada di sini. Di atas kereta api yang akan membawaku ke Bandung, menjauh darinya.
Bandung pukul 02.00 di tengah guyuran hujan, mas Ari menjemputku dan kami langsung menuju rumahnya di Jalan Suprapto. Aku hanya istirahat beberapa jam dan paginya kami langsung menuju kantor untuk rapat direksi dan pengangkatanku menjadi wakil direktur operasional yang baru. Hari ini aku lelah sekali. Aku menelepon Omi menanyakan kabar Lala, Omi hanya berkata semua baik-baik saja. Baru saja aku menutup telepon ketika tiba-tiba mas Ari muncul.
“Malem-malem nglamun. Nglamunin siapa Az? Lala lagi? Udah, tenang aja, kalo jodoh gak akan kemana-kemana.” mas Ari mengejekku dengan candaan yang menurutku nggak lucu. Ku pukul dia dan dia balas memukul. Akhirnya kami saling memukul dan tertawa bersama dalam nafas yang tinggal satu-satu.
“Eh, kamu dicari Bunda tuh, kangen katanya, malahan sempat dikatain anak durhaka segala,” kata mas Ari sambil mempraktekkan gaya bicara Bunda. Aku tertawa keras, kuambil handphoneku, dan ku tekan nomor telepon Bunda. Tut...tutt...tuuttt.” Assalamualaikum.” sapa Bunda dari ujung telepon di sana.
“Waalaikumsalam Bundaku tercinta,”
“Duh Gusti...kamu tuh bener-bener keterlaluan Le! Masa pulang ke rumah masmu, memangnya kamu sudah lupa jalan ke rumah orang tuamu?” kata Bunda emosi. Belum-belum sudah diomeli. Tapi aku hanya cekikikan mendengar Bunda mengucapkan kalimat itu dengan logat jawa yang khas.
“Maaf Bunda, urusan di kantor sangat banyak, dan saya harus belajar banyak dari mas Ari.” kilahku.
“Oooo....jadi urusan kantor lebih penting dari Ayah dan Bundamu?? Keterlaluan Le, kamu itu benar-benar keterlaluan,” sahut Bunda.
Mati aku, salah ngomong.” Bukan begitu Bu...”
“Kamu itu kok sudah seperti kehilangan sopan-santun to Le, Bundamu ini mendidikmu supaya kamu menjadi anak yang berbakti dan tau sopan santun. Jangan seenaknya sendiri. Hidup ini ada aturannya Le,” sela Bunda.
Mati aku, kalo udah kaya gini apa pun yang aku katakan pasti salah. Bisa-bisa semua jadi runyam. Dan aku hanya mampu mengeluarkan jurus pamungkasku.
“Maaf Bunda, Azka tau Azka salah, besok saya akan mampir ke rumah. Saya seperti ini bukan karena ndak sayang sama Bunda dan Ayah. Inikan juga untuk terus melangsungkan usaha keluarga Bu. Bagaimana perusahaan bisa maju jika karyawannya tidak loyal?” Hehe...Bunda pasti akan terpengaruh dan berhenti memarahiku.
“Ya sudah, terserah apa katamu lah. Yang penting kamu bisa jaga diri” kata Bunda pasrah.
“Beres Bunda, i love u Bundaku. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam” jawab Bunda dan kudengar telepon dimatikan.
Pfuhh...akhirnya aku dapat bernafas lega lepas dari kemarahan Bunda. Mas Ari hanya geleng-geleng dan menjitak kepalaku lalu pergi begitu saja.
Label: Bintang di Langit Jogja, Cerpen
Click for Komentar