Cerita Sebelumnya:
BINTANG DI LANGIT JOGJA (Bagian 4)
Kini semua aku mulai lagi dari awal. Tiga minggu sudah aku di Bandung. Melalui detik-detik dengan cepat, disibukkan dengan segudang kerjaan kantor yang menumpuk, dan puluhan meter janji meeting dengan klien. Saat ini pun aku sedang pusing oleh rancang bangun yang sedang aku persiapkan menghadapi peperangan tender untuk besok.
And i will take u in my arm and hold u right where u belong
every word i say is true this i promise u..this i promise u..
Dering Hpku berbunyi sejak tadi, paling dari Bunda yang akan memarahiku lagi. Jadi aku mengabaikannya. Tapi Hpku tak mau berhenti, akhirnya aku beranjak dari dudukku mengambil Hp yang ku geletakkan di meja. Nomor rumah Lala. Ada tanya dalam hatiku. Dadaku bergetar hebat. Ku angkat Hpku.” Assalamualaikum” sapa seorang lelaki di ujung sana yang ku tebak pastilah mas Fajar. Karena aku sangat kenal suaranya yang bariton. Ada kelegaan yang kurasa karena bukan Lala.
“Waalaikumsalam, mas Fajar. Lho kok di Jogja? kapan nyampe? Kok nggak kasih kabar?” tanyaku.
“Aku udah satu minggu di Jogja,” suaranya bergetar aneh.
“Gimana kabar semua?” kucoba menetralisir sesuatu aneh yang aku rasa.
“Semua sehat. Kecuali Lala, Az,”jawabnya lemah.
Degup jantungku berdetak lebih cepat. Ada keresahan yang sulit kucerna maknanya. Aku menahan nafasku. Berbarengan dengan itu mas Fajar bilang,
“Lala udah pergi Az, pergi untuk selamanya. Dia meninggal satu jam yang lalu.”
Seperti petir di pagi buta.Aku merasa tersengat listrik ribuan watt mendengarnya, beberapa waktu aku sempat kehilangan keseimbangan hingga harus bertumpu pada kursi. Badanku lemas seketika. Tapi aku masih bisa menguasai kesadaranku.
“Aku ke sana mas,” ucapku yang mungkin lebih tertuju pada diriku.
Aku menutup telepon. Aku menghubungi mas Ari menceritakan semuanya. Ku suruh Vanty memesan tiket pesawat ke Jogja untuk penerbangan siang ini. Dia mendapatkannya. Aku segera pulang dan mengemasi barang-barang secukupnya untuk menginap dua atau tiga hari. Begitu selesai kudengar klakson mobil dibunyikan, mas Ari sudah berteriak dari luar. Buru-buru aku mengunci pintu dan masuk mobilnya. Selama perjalanan Bandung-Jakarta kami membisu. Pikiranku berlarian kian kemari. Mungkin mas Ari juga. Sesampainya di bandara aku segera mengambil langkah seribu. Pesawat take-off lima belas menit lagi.
Setengah tergesa aku mengambil tiketku dan berlari menuju pesawat. Aku duduk tanpa ketenangan sedikit pun. Sampai di Jogja pukul empat sore. Aku langsung menuju pemakaman. Ada perasaan aneh yang menjalar. Ada duka yang menggenggam erat jiwa. Ada airmata yang menetes di hati menyesakkan nafas dan membuatku tak percaya. Aku hanya mampu diam, diam, dan diam.
Aku sampai di pemakaman ketika jasadnya yang terbungkus kafan putih dimasukkan ke liang lahat. Kurasakan keheningan yang pekat. Perlahan aku mendekat, memeluk Omi yang mencoba untuk tabah. Meski airmatanya mengalir, Omi tetap tenang, malahan mbak Laras yang menangis terisak-isak dipelukan suaminya. Setelah semua prosesi pemakaman selesai, satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman. Sekarang tinggal Omi dan aku yang terpekur di tepi gundukan tanah merah. Dan akhirnya, Omi pun meninggalkan aku sendiri.
Aku memandangi tanah merah itu. Yang menenggelamkan jasadmu dalam kesendirian panjang. Ya Allah...inikah jawaban dari sujud-sujud panjangku?? Engkau lebih menginginkannya dari aku?? Ku sentuh nisan putih itu. Dimana terukir namamu La. Ada kemarahan padamu, ada seribu tanya yang belum kau jawab. Mengapa kau pergi begitu saja tanpa memberikan satu pun alasan! Ataukah ini alasanmu La?? Ku tarik nafas panjang. Kemarahanku padamu luruh sudah La. Tapi mengapa?? Mengapa La?? Mengapa kamu tak pernah jujur padaku?? Apakah mungkin karena aku terlalu merasa mengenalmu?? Aku tetap tak bisa tenang La. Tahukah kau seberapa besar luka itu?? Aku disini, bukan untuk menggugat apa yang telah terjadi. Aku hanya ingin tahu jawabanmu. Tapi tak mungkin kau mau menjawabnya. Kau hanya bisa diam La. Diam untuk selamanya. Seseorang menyentuh pundakku, Omi.
“Nak Azka, ini buku harian dan liontin yang dititipkan Lala ke Omi sebelum dia koma dan akhirnya pergi untuk selamanya. Omi diminta untuk memberikannya ke nak Azka.” Kata Omi sambil menyerahkan sebuah diary berwarna merah dan liontin berbandul bintang yang dulu aku berikan kepada Lala. Aku bangkit dan menerimanya dengan tangan gemetar. Lalu aku mengiringi Omi berjalan meninggalkan pelataran pemakaman.
Label: Bintang di Langit Jogja, Cerpen
Click for Komentar