BINTANG DI LANGIT JOGJA (Bagian 1)
Terik siang matahari yang menyengat kulit mengantarkanku menuju stasiun yang hanya berjarak satu kilometer dari rumahku. Rumah yang selama hampir setahun terakhir aku tinggali. Suasana bising kendaraan dan lalu lintas yang padat mengiringi laju roda becak yang aku tumpangi. Di sana-sini terdengar orang saling berebut bersuara. Entah mengumpat hawa panas ataupun memaki pengemudi angkot yang nekat menerobos lampu merah di perempatan jalan. Aku tenang-tenang saja duduk di atas becak yang meliuk-liuk menghindari kemacetan dan melenggang dengan santainya di atas aspal. Tinggal beberapa puluh meter lagi. Di depan sana sudah terlihat keramaian khas Stasiun Tugu. Aku menghela nafas panjang. Detik-detik berlalu begitu saja tanpa mengizinkan aku memaknai semuanya.
“Kiri Pak,” ucapku kepada si Tukang Becak.
Sedetik kemudian suara derit rem becak terdengar panjang menyaingi klakson mobil-mobil yang sedang berebut mencari tempat parkir. Aku segera membayar ongkos becak dan sekilas kudengar ucapan terimakasih dari si Tukang Becak. Aku melangkahkan kaki memasuki pelataran stasiun,menghindari panas. Dengan susah payah aku menembus kerumunan manusia dan lalu lalang penumpang yang akan masuk ataupun keluar stasiun. Siang yang melelahkan.
Cepat-cepat aku menuju ruang tunggu bagi penumpang VVIP, setelah terlebih dahulu menunjukkan karcis yang kubeli dua Minggu yang lalu. Kurebahkan tubuhku di salah satu sofa di ujung ruangan. Kurasakan dingin AC ruangan ini menyentuh kulit ari memberikan kesegaran di antara kepenatan yang aku rasakan. Kutarik nafas panjang-panjang hingga bisa kurasakan oksigen mengalir memenuhi rongga dada. Menghilangkan sedikit keresahan di jiwa. Ku coba memejamkan mata, menetralisir pergantian detik yang mencekat hati. Baru saja aku hanyut dalam angan, tiba-tiba terdengar pengumuman dari speaker yang dipasang di setiap ujung ruangan jika kereta yang kutumpangi akan berangkat lima belas menit lagi. Aku beranjak dari tempat dudukku. Dengan malas kutarik satu-satunya tas yang kubawa, karena mungkin semua barang-barangku sudah sampai di Bandung, kota tujuanku.
Dengan bantuan pramugari aku menemukan tempat dudukku, persis di samping jendela seperti yang kuinginkan ketika memesan karcis. Kuhempaskan tubuhku di kursi yang akan menemaniku selama dua belas jam ke depan. Itu pun bisa lebih jika ada halangan dalam perjalanan entah karena kesalahan teknis atau kesalahan manusia. Yah, kita sama-sama tahu bagaimana kondisi perkeretaapian Indonesia yang bisa dikatakan payah. Perlahan-lahan kereta mulai merangkak berjalan, merambat dengan pasti meninggalkan Stasiun Tugu. Sekilas kulihat bayangannya mengejar kereta. Tapi tak mungkin itu dia. Bukankah kata Omi, Lala sedang berlibur bersama teman-temannya melakukan kegemarannya mendaki?? Dan kata Omi juga, Lala baru sampai kaki Rinjani tadi malam??! Rencananya dia baru pulang minggu depan setelah bermalam dua hari di Senggigi?? Ah,mungkin aku sedang mengigau atau berhalusinasi karena terlalu memikirkan dia.
Kereta melaju semaki cepat. Kulemparkan pandang ke sekelilingku. Sepi....Bangku di sebelahku kosong, yang berarti aku tidak mendapat teman duduk selama perjalanan ini. Gerbong ini pun tampak lengang, hanya beberapa penumpang, sebuah keluarga di ujung gerbong, beberapa pemuda kulihat membawa ransel besar,mungkin mau mudik, lainnya aku tidak begitu memperhatikan. Bip...bip...handphoneku bergetar. Ada sms masuk dari mas Ari, wakil direktur operasional yang posisinya akan aku gantikan mulai besok pagi.
Az, semua berkas aku serahin ke Vanty. Kalau udah nyampe hub aku. Besok pg ada rapat direksi. Gimana kabar Lala???
Lala??!! Tak kubalas sms dari mas Ari. Kumatikan Hpku. Aku benar-benar ingin sendiri. Tiba-tiba bayangnya kembali hadir. Mengisi kepalaku penuh sesak dengan tawanya, renyah suaranya, tingkah lakunya. Sedang apa dia sekarang? Sudah berhasilkah dia menakhlukkan Rinjani seperti angannya? Apa dia sempat memikirkan aku, kepergianku?? Apa dia masih marah karena kepindahanku yang terkesan menghindarinya?? Meskipun sebenarnya itu salah satu alasanku menerima permintaan mas Ari untuk menggantikan posisinya. Mengapa sih La, semua menjadi serba sulit untuk kita. Aku gak pernah ngerti jalan pikiranmu. Aku tahu kamu merasakan hal yang sama, tetapi mengapa kamu menghindar dan lebih memilih untuk diam dan pergi begitu saja?? Tidak singkat waktu yang kita lalui bersama. Satu tahun adalah waktu yang cukup untukku mengenalmu La!
Namanya Leila, Dheiya Leila Nouri, tapi hampir semua orang yang mengenalnya memanggilanya Lala, bahkan Ominya sendiri juga memanggil seperti itu. Lebih mudah diucapkan katanya. Pertemuanku dengannya bermula kurang lebih satu tahun yang lalu, ketika aku mendapat tugas dari perusahaan tempatku bekerja ke kota gudeg, Jogjakarta, untuk menangani pembangunan kembali kota Jogja setelah dilanda gempa. Kira-kira pertengahan September 2006, aku menempati rumah baru yang aku beli dari sebagian uang tabunganku, karena kupikir aku akan lama tinggal di kota ini. Rumah yang tidak besar, juga tidak kecil, sedang-sedang saja lengkap dengan perabotnya. Rumah ideal untuk lelaki lajang sepertiku. Rumah ini terletak sekitar satu kilometer dari jantung kota Jogja, Malioboro. Tepatnya di daerah Jetis. Perumahan yang asri dengan banyak pohon-pohon rindang dan taman-taman cantik yang tertata rapi. Mas Ari memilihkan lokasi yang sangat aku sukai dimana aku bisa memandang taman dan hanya memiliki seorang tetangga yang rumahnya tepat berada di sebelah timur rumahku. Bahkan kami berbagi pagar.
Label: Bintang di Langit Jogja, Cerpen
Click for Komentar