MENJELANG KEPERGIAN IBU (Bagian 1)
24 Agustus 2002
Senja yang temaram. Setemaram keadaan keluargaku saat ini. Ibu sakit, perutnya membesar tanpa tahu apa yang ada di dalam perut ibu tersebut. Rumah sakit, dokter sudah angkat tangan. Tiap kali ibu dibawa ke dokter, dokter selalu menyatakan jika ibu tidak mengidap penyakit apapun. Rontsen normal, check up semuanya menunjukkan indikasi ibusehat. Keluarga sudah mengusahakan kesembuhan ibu, ibu sudah dibawa kemana saja. Di mana saja tempat yang diberitahukan orang sudah pernah kami datangi. Tapi ibu masih belum ada perkembangan.
“Dok, sebenarnya istri saya ini sakit apa? Tiap kali kita berobat, dokter slalu mengatakan klo dia tidak sakit,” tanya bapak pada dokter Rusman.
“Memang benar. Setelah saya periksa, ibu memang tidak mengidap penyakit apa-apa.”
“Bapak percaya tidak dengan ilmu santet?” tanya dokter tiba-tiba.
“Tidak, Dok. Memangnya knapa?” jawab bapak dan ibu.
“Begini ya Pak, Bu. Saya ini selain dapat mengetahui penyakit medis, saya juga mengetahui penyakit nonmedis. Sepertinya ibu ini terkena penyakit nonmedis. Namun, saya tidak tahu bagaimana menyembuhkan penyakit nonmedis tersebut. Ibu dan bapak yang sabar aja. Mungkin ini ujian dari Allah pada keluarga bapak.”
“Iya, Dok. Makasih. Tetangga kami juga pernah mengatakan seperti itu, Tapi, kami tidak percaya. Kami harus bagaimana, Dok?”
“Saya juga tidak tahu. Bapak pergi saja ke orang pintar atau kyai. Tetapi ada cara kuno, bapak siram aja tiap sudut rumah dengan air rendaman beras. Insya Allah, setannya akan menyingkir.”
“Makasih atas sarannya, Dok,” jawab bapak dan ibu.
18 November 2002
Terekam dengan sangat jelas peristiwa itu dalam memoriku. Ibu tiba-tiba pingsan setelah diruqyah. Kata orang Ibu diganggu orang (orang Jawa biasanya menyebut santet). Hal ini sama dengan dugaan dokter Rustam tentang penyakit ibu. Keluarga kami sebenarnya tidak percaya dengan ilmu santet tetapi karenahal itu terjadi pada Ibu, akhirnya keluarga kami percaya. Ibu dibaringkan di atas tempat tidur dikelilingi seluruh keluarga besarku. Ibu berbicara sendiri dengan mata tertutup tanpa jelas apa yang diomongkan. Ibu kesetanan, apa yang keluar dari mulut itu bukan dari ibu sendiri melainkan dari setan yang ada dalam diri ibu. Dari omongan ibu itulah akhirnya kami tahu siapa yang menyantet ibu. Orang yang menyantet Ibu adalah Parmi, tetanggaku yang selama ini juga dekat dengan ibu. Keluarga kami mengaji di sekeliling ibu.
“Sampeyan itu sebenarnya siapa? Apa salah Ibu pada sampeyan?” itulah pertanyaan pertama yang aku ajukan saat Ibu kesetanan.
“Aku bu Parmi. Ibumu itu tidak salah apa-apa. Klo aku gak lakukan ini, maka aku sendiri yang akan mati. Tiap tahun aku harus lakukan ini agar ilmuku meningkat,”jawab Ibu saat kesetanan.
“Sampeyan kok punya ilmu sepeerti ini?”
“Aku dulu belajar pada orang pintar, bapakku juga tukang santet.”
“Tapi knapa Ibu yang sampeyan santet? Ibu kan teman dekat sampeyan, teman curhat?”
“Karna ibumu orang beriman. Semakin tinggi iman orang yang aku jadikan korban, semakin tinggi pula ilmuku.” jawab setan itu tanpa menyesali perbuatannya.
Orang-orang di sekeliling ibu masih terus mengaji agar setannya cepat keluar.
“Sudah... sudah.... Kalian jangan ngaji lagi, huh... huh...,” rengek setan Parmi dengan suara yang kami pikir lebih tepatnya seperti suara anjing.
“Tapi sampeyan tidak buat Ibuku mati kan?” rengekku.
“Ha...ha...ha... kamu itu ada-ada saja. Yang dapat mencabut nyawa seseorang hanya malaikat, aku tidak berhak lakukan itu.”
“Knapa sampeyan gak kirim ilmu itu ke benda mati seperti pohon, binatang atau pada orang kafir?” tanya saudaraku.
“Klo aku nyantet pohon, binatang, atau bahkan pada orang kafir itu tidak mungkin. Itu sama saja aku nyantet kawanku sendiri. Aku harus nyantet orang yang ilmunya lebih tinggi dari aku,” jawab setan yang ada dalam tubuh ibu.
“Sudah berapa orang yang sudah sampeyan jadikan korban?”
“Sudah banyak. Tatangga-tetangga di gang ini sudah banyak yang jadi korban. Bu Bambang, Pak Sukimin, Pak Aziz, dan masih banyak lagi. Langganan tetapku itu ya keluarga Pak Aziz itu, ha... ha.... Salahnya sendiri ngapain ikut campur urusan keluargaku. Lihat aja anak perempuannya, sampai sekarang tidak laku kan?”
“Sampeyan kok jahat banget sich? Apa mereka semua punya salah sama sampeyan?”
“Selain tiap tahun aku harus korbankan satu tetanggaku, mereka juga punya salah. Bu Bambang misalnya. Dia curiga aku selingkung dengan suaminya. Siapa yang mau dengan lelaki tua seperti itu? Ya udah, aku buat bolong payudaranya, ha... ha....”
“Hai, diam. Siapa itu yang ngaji? Jangan ngaji lagi. Aku kepanasan, huh... huh...,” bentak setan yang berwujud ibu.
“Gimana cara sampeyan nyantet?” tanya tanteku.
“Aku lakukan itu jam 12 malam, dengan tidak memakai baju, alias telanjang. Aku ikatkan roh orang yang akan aku santet itu di atas loteng,” jawab setan Bu Parmi.
“Klo begitu malam ini sampeyan harus lepaskan ikatan itu.”
“Iya... iya.... Tapi kalian jangan ngaji lagi, aku kepanasan. Kalian diam semua,” bentak setan itu lagi.
Bapak yang sedari tadi hanya dengerin percakapan kami, akhirnya ikut bicara.
“Sampeyan malam ini juga harus keluar dari istriku. Klo sampeyan gak mau keluar, sampeyan aku tarik dengan tali yang besar mengelilingi kota ini biar semua teman suamimu yang pegawai negeri tahu,” ancam bapak.
“Iya... bentar lagi aku nyampek di Pasuruan. Aku sekarang masih ada di bis. Nanti klo aku dah turun dari becak, jangan sampai ada yang melihatku, aku malu. Juga jangan ada tetangga yang mengetahui peristiwa ini,” kata setan itu.
Bu Parmi dalam perjalanan pulang dari Surabaya.
Label: Cerpen, Menjelang Kepergian Ibu
Click for Komentar