Cerita Sebelumnya:
MENJELANG KEPERGIAN IBU (Bagian 3)
16 Maret 2003
Penyakit ibu kambuh lagi. Perut ibu membesar lagi. Padahal ibu selalu rutin kemoterapi. Memang benar kata orang klo terkena santet itu akan diganggu terus sampai orang itu dan keluarganya tidak berdaya lagi. Keluargaku sudah membawa ibu ke kyai-kyai yang sekiranya bisa menyembuhkan ibu. Namun, kata kyai Bu Parmi itu sulit dilawan. Bu Parmi minta bantuan bapaknya yang juga seorang tukang santet dan roh gurunya.
15 September 2003
Sudah lima bulan ini ibu dibawa ke suatu asrama di Probolinggo. Asrama ini atau lebih tepatnya tempat pondokan untuk orang yang sakit itu bernama Ampera. Tiap hari kami sekeluarga menjenguk ibu ke Probolinggo. Sepulang sekolah, aku dan adik-adikku langsung berangkat ke sana. Jauhnya tempat tak menghalangi keluargaku untuk menjenguk ibu. Yang kami inginkan hanya kesembuhan untuk ibu.
20 Januari 2004
Malam hari, 23.58
“Din... Din..., tolong Ibu. Ibu maukencing.” pinta Ibu padaku yang masih tidur.
“Iya, Bu,” jawabku masih dengan mata mengantuk.
Sudah beberapa bulan ini tiap malam Ibu membangunkan orang yang ada di rumah untuk membantu Ibu kencing. Ibu tidak dapat kencing sendiri karena ibu menggunakan pespot untuk buang air kecil.
“Maaf ya, Ibu slalu bangunin kamu tiap malam.”
“Gak apa-apa kok, Bu. Ibu bisa panggil aku kapan saja.” jawabku lirih masih sambil mengantuk.
“Makasih ya nduk. Ntar klo ibu dah gak ada, ibu gak akan ngrepotin lagi kok. Mungkin tinggal menghitung hari aja,” kata ibuku.
“Ibu itu ngomong apan? Yang namanya jodoh, rezeki, kematian itu Allah yang mengatur. Ibu gak boleh ngomong gitu lagi,” jawabku dengan jengkel. Aku gak suka klo ada orang yang ngomong masalah kematian.
1 Februari 2004
Pukul 12.00
Hari ini hari yang melelahkan bagiku. Tadi di sekolah aku dimarahi guru B. Inggris karena aku gak bisa jawab pertanyaan yang diajukannya. Sesampai di rumah, aku langsung ambil wudhu buat sholat dhuhur.
“Din, panggilkan bapak,” pinta Ibu padaku saat aku selesai sholat dhuhur.
“Iya, Bu,” jawabku singkat.
“Pak, panggil Ibu,” kataku pada bapak yang sedang beresin barang-barang yang numpuk.
“Iya, bentar,” jawab bapak.
Bapak kemudian menemui Ibu di ruang tengah.
“Ada apa, Bu?” tanya bapak.
“Emak... Emak... Emak....” rengek Ibu memanggil Ibunya.
“Lho, katanya tadi manggil saya, sekarang kok manggil Emak?” tanya bapak heran.
Bapak akhirnya meninggalkan Ibu untuk meneruskan pekerjaan yang tertunda tadi.
“Din, panggilkan Bapak cepat,” pinta Ibu kemudian.
“Lho? Itu tadi udah aku panggilin bapak tapi Ibu malah manggil Emak. Ibu sebenarnya pingin dipanggilin siapa?” jawabku kesal.
“Bapak, Din,” pinta Ibuku.
“Pak, dipanggil Ibu sekarang.”
“Ada apa lagi?” tanya bapakku.
“Bapak dipanggil Ibu.” jawabku.
“Ada apa, Bu?”
“Emak... Emak... Emak....”
“Tuch kan, Pak. Tadi panggil bapak kemudian Emak.”
“Kamu sekarang telepon saudara-saudara saja, di Gresik, Surabaya, ama Batu. Katakan ama mereka klo Ibu sudah tidak ingat apa-apa,” pinta Bapak padaku dengan tenang.
“Maksudnya apa, Pak?” tanyaku.
“Ibu kamu itu sekarang sudah tidak mengingat apa-apa. Itu biasanya ciri-ciri orang yang sakaratul maut. Mungkin ini sudah waktunya Ibu untuk menemukan kedamaian,” kata bapak memberi penjelasan padaku.
“Apa Ibu gak bisa disembuhin lagi, Pak?” rengekku pada Bapak.
“Kamu ikhlasin aja agar Ibu tenang di alam sana. Sekarang kamu telepon saudara-saudara.” perintah bapak.
“Baik, Pak,” jawabku sambil terisak.
Aku langsung pergi ke wartel sebelah rumah. Aku telpon seluruh saudaraku, mengabari kondisi ibu.
Label: Cerpen, Menjelang Kepergian Ibu
Click for Komentar