Cerita Sebelumnya:
JAM KUNO ISTRIKU (Bagian 2)
Tak seperti biasanya, keesokan harinya pintu depan rumah keluarga Darto terbuka lebar-lebar. Bukan karena ada syukuran atau acara lain. Pagi ini, Nia bermaksud membersihkan kamarnya yang sudah berdebu. Saat membuka almari pakaian, Nia melihat tumpukan baju-bajunya waktu ia masih kecil dulu. Segera diangkatnya baju-baju itu dan dipindahkannya ke ruang tamu.
“Pak, coba lihat. Ini kan baju-baju Nia waktu masih kecil. Lucu-lucu ya, Pak?” Nia memperlihatkan baju-baju itu kepada bapaknya. Darto, yang semula sedang duduk di kursi sambil memandangi jam kuno segera beranjak mendekati anak perempuannya. Mereka melihat satu persatu baju-baju itu dan tertawa bersama mengingat saat Nia masih kecil.
“Nduk, ini kan baju yang kamu pakai waktu pertama kali masuk TK? Waktu itu Bapak dan Ibu mengantarkan kamu sampai ke sekolah. Tapi kamu nangis terus minta pulang, to? Ha... ha...”. Darto menunjukkan sepotong baju berwarna merah muda dengan motif bunga-bunga mawar kecil.
Mereka kembali tertawa. Dalam hati, Nia memuji daya ingat bapaknya yang sangat kuat. Sudah hampir limabelas tahun peristiwa itu terjadi, tapi bapaknya masih ingat dengan jelas.
“Kalau yang ini... Nah, ini Nia pake waktu Nia jatuh dari sepeda dan nyemplung ke kolam itu, kan Pak? Ha... ha... Ini bekas sobeknya masih ada. Dulu, Nia suka pake baju ini, Pak. Soalnya, warnanya kuning, bagus banget. Bapak sama Ibu yang beliin. Kalau nggak salah, Bapak sama Ibuk belinya di Jogja...” , Nia tak meneruskan kata-katanya. Dia tertegun melihat bapaknya memegang baju itu sambil menatap lurus-lurus ke arah jam kuno yang menempel dengan anggunnya di dinding ruang itu.
“Pak, kenapa?” tanyanya lirih.
Tapi Darto tak lagi mendengar kata-kata anaknya. Dia berjalan mendekati jam kuno itu dengan sepotong baju tadi digenggamnya erat-erat. Ingatannya berganti-ganti seperti adegan dalam film yang dipercepat. Dia ingat bagaimana saat-saat dia pergi ke Jogja bersama istrinya. Saat itu, mereka berdua berjalan-jalan di Malioboro setelah menghadiri resepsi pernikahan teman istrinya. Saat itulah mereka membeli baju itu untuk Nia. Setelah itu... setelah itu...
“Ah, ya! Pantas saja... jam ini..” Darto setengah berteriak.
“Pak! Ada apa...”Nia masih keheranan melihat tingkah laku bapaknya.
Darto diam. Ia memusatkan seluruh tenaganya untuk mengingat peristiwa itu. Ia dan istrinya melihat jam kuno itu dipajang di sebuah toko barang-barang antik. Istrinya ingin membelinya... dan merekapun membeli jam itu. Istrinya senang sekali. Karena jam itu besar, mereka menyuruh seorang tukang becak untuk mengantarkan mereka ke terminal bus. Tapi.. ada sesuatu... di becak, istrinya mengatakan sesuatu. Tapi, apa? Darto tak sanggup lagi mengingat.
Ia mendekati jam kuno itu. Tangannya yang keriput karena dimakan usia menjangkau bagian atas jam yang berukir. Tangan itu menelusuri setiap garis dan ukiran lapisan kayu jati yang menjadi kerangka jam itu. Tiba-tiba jemarinya bergetar. Ia ingat perkataan istrinya.
“Pak, kalau kita tua nanti, dan aku meninggal lebih dulu, aku ingin menjadi benda apa saja yang selalu menemanimu sampai kau menyusulku. Mungkin aku bisa menjadi jam ini...” , katanya sambil mendekap ujung atas jam kuno itu.
“Hush, kamu ini. Ndak boleh ngomong gitu!” potong Darto. Istrinya tertawa.
Air mata besar-besar jatuh membasahi pipi Darto. Terus menetesi baju yang digenggam di tangan kirinya. Nia sesenggukan sambil memeluk lengan bapaknya. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan bapaknya. Mungkin bapak ingat ibu, pikirnya.
Sementara itu, Darto terus memandang jarum-jarum jam kuno itu. Benda-benda panjang runcing itu bergerak-gerak, berputar dengan tenangnya. Tapi hati Darto tidak setenang itu. Dia sedang berpikir, akankah diceritakannya hal ini kepada Nia???
By: Febilya Susanti
Label: Cerpen, Jam Kuno Istriku
Click for Komentar