So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 29/06/13 | @ 11.19

JAM KUNO ISTRIKU (Bagian 1)

Darto beranjak dari kursi yang sedari tadi didudukinya. Kepalanya serasa pusing. Mungkin karena penyakit hipertensi yang sudah bertahun-tahun mengendap di tubuhnya. Ia berjalan ke teras. Sore ini khusus ia luangkan waktu untuk menunggu kedatangan anaknya, Nia. Pagi tadi, Nia menelepon dan menyampaikan kabar gembira. Kuliahnya akan libur selama beberapa hari, sehingga dia bisa pulang menengok bapaknya.

Darto merapatkan tubuhnya ke sisi kursi rotan. Udara memang sedang dingin-dinginnya. Jika istrinya masih hidup, saat-saat sore yang dingin seperti ini, dia pasti membuat pisang goreng kesukaan Darto. Dengan ditemani secangkir teh, mereka berdua akan larut dalam canda tawa mengingat masa muda yang penuh kenangan. Ya, Marni memang sudah berpulang enam bulan yang lalu. Darto masih ingat saat itu. Tanpa menderita sakit sedikitpun, Marni meninggal. Padahal, pada malam sebelum tidur, mereka masih membicarakan rencana Nia untuk mengambil kuliah di luar kota.

“Bu, aku tidak melarang Nia meneruskan cita-citanya untuk menjadi dokter anak. Tapi, di kota kita ini kan juga ada universitas yang mempunyai jurusan kedokteran. Maksudku, kalau mau, Nia bisa kuliah di sini sekaligus menemani masa tua kita. Ingat, Bu, anak kita hanya satu”.

“Iya, Pak, aku tahu maksudmu. Tapi bagaimana dengan beasiswa yang diterimanya? Nia senang sekali waktu mengetahui dia diterima dengan beasiswa di sana”, Marni mengingatkan.

Perbincangan itupun berakhir dengan keputusan merelakan Nia melanjutkan kuliahnya di luar kota. Jam beker berbentuk beruang yang duduk di atas laci di sisi tempat tidur mereka menunjukkan pukul 23.00 ketika Darto mengajak istrinya tidur. Esok paginya, saat menjelang subuh, Darto bangun dan menyadari bahwa istrinya telah meninggal. Sesal hatinya karena istrinya tak memberi isyarat apapun tentang kepergiannya. Namun, hati kecilnya merasa terhibur sebab istrinya meninggal dengan tenang.

* * * * *

“Assalamu’alaikum...”.

Darto kaget bukan kepalang, tak terasa ia tertidur di kursi rotan tempatnya duduk tadi. Di sampingnya, seraut wajah cantik berkerudung memandangnya iba.

“Wa’alaikum salam”, jawabnya lirih.

“Jalannya macet, Nduk?”, tanyanya ketika menangkap rasa lelah pada wajah cantik itu.

“Iya, Pak. Padahal Nia berangkat pagi sekali. Oh, iya. Ini ada oleh-oleh buat Bapak. Bapak belum dhahar kan?”

Nia menuntun bapaknya masuk ke dalam rumah. Darto tersenyum mendengar Nia mengucapkan kata dhahar, yang dalam bahasa Jawa halus berarti makan. Kemudian, ayah dan anak itu memutuskan untuk shalat dulu karena waktu shalat magrib hampir tiba.

* * * * *

Teng... teng... teng... teng!

“Pak, kenapa jam ini? Apa sudah rusak? Ini kan masih jam setengah tujuh?” tanya Nia bertubi-tubi. Ia berdiri di depan jam dinding yang besar dan kuno di ruang tamu. Di wajahnya tersirat rasa heran.

“Itulah, Nduk. Sebenarnya Bapak ingin menceritakan hal ini. Ayo, kita duduk dulu”, Darto mengajak Nia duduk di kursi, menghadap meja makan. Bau sedap soto ayam yang dibawa Nia tadi menyebar ke seluruh ruang makan.

“Nduk, Bapak juga ndak tahu. Sejak sebulan yang lalu, jam ini selalu berbunyi meskipun bukan waktunya. Mungkin memang sudah rusak. Tapi kalau dipikir-pikir, jam ini selalu berbunyi pada waktu-waktu sholat dan makan tiba. Kalau waktu shalat, dia bunyi lima kali. Tapi, kalau waktunya Bapak makan, dia bunyi empat kali. Aneh, to Nduk? Pakdhemu bilang sebaiknya dibawa ke tukang reparasi saja. Tapi Bapak ndak mau. Lha wong ibumu saja pernah bilang ndak akan jual jam ini, walaupun sudah rusak. Kamu eling to ibumu pernah marah waktu jam ini mau dipindah ke ruang belakang?” katanya panjang lebar.

“Iya, Pak. Ibu sayang sekali sama jam ini. Ya sudah, Pak, nggak usah dijual. Nia juga suka ingat ibu waktu melihat jam ini”. Nia menuang air putih ke dalam gelas bapaknya. Saat melihat bapaknya makan dengan lahap, trenyuh hati Nia membayangkan setiap hari bapaknya tinggal sendiri di rumah besar itu.

Dua bulan setelah ibunya meninggal, Nia kost di luar kota tempatnya kuliah. Tinggallah bapaknya seorang diri di rumah itu. Setiap hari, ada saja kerabat dekat yang datang menjenguknya. Kakak laki-laki Marni, Marji, yang paling sering datang. Nia biasa memangginya Pakdhe. Pakdhe sering meminta bapaknya untuk tinggal di rumahnya yang hanya berjarak lima rumah dari rumah bapaknya. Masih ada satu kamar kosong yang bisa ditempati. Tapi, bapaknya tidak mau. Katanya, walaupun ibunya sudah meninggal, tapi serasa dia masih selalu menemaninya di rumah itu.

“Lho, kok malah bengong, to Nduk? Ayo, cepet makan. Sebentar lagi jam itu pasti bunyi lima kali. Itu tandanya...”

Teng... teng... teng... teng... teng!

Belum selesai kalimat yang diucapkan Darto, jam itu sudah berbunyi lima kali. Persis seperti yang dikatakannya.

“Shalat isya kan, Pak? Nah, itu di mesjid juga sudah adzan”, sambung Nia.

“Pak, ngomong-ngomong Nia kok belum ketemu sama Bu Minah?” tanya Nia.

“Bu Minah pergi ke rumah anaknya, jadi makanan bapak sudah diantar tadi pagi”, Darto menjelaskan.

Bu Minah adalah penjual nasi di warung sebelah rumah mereka. Setiap hari, dia mengantar makanan untuk bapak Nia. Bapaknya memang berlangganan makanan dari warung itu, sebab dia tidak mau mempunyai pembantu.

* * * * *
B E R S A M B U N G

Label: ,