So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 13/06/13 | @ 14.43

Cerita sebelumnya:


Suatu Siang di Bundaran HI (2)

Duduk di dekat Angga tiada hal lain yang kulakukan selalu diam membisu, sambil melakukan kebiasaan burukku, menggigit kuku. Habis sepertinya mulut anak itu terkunci mulai jam pertama hingga menjelang istirahat dia terus memperhatikan pelajaran dan menjawab setiap soal yang ditanyakan guru. Sesekali aku melirik dia, melihat apa yang sedang ditulisnya. Suatu kali mata kami bertatapan. Aku cepat-cepat menolehkan pandanganku. Aku meraba pipiku terasa sangat panas. Seandainya ada cermin pasti pipiku terlihat memerah karena malu.

Teee…t bel istirahat sanggup membuyarkan suasana hening di dalam kelas, belum lagi guru keluar , anak-anak sudah berebutan keluar dari kelas. Rupanya mereka ingin menjernihkan pikiran , mengusir kepenatan.

Aku ke kantin, sedangkan Angga tentu saja ke tempat favoritnya yaitu perpustakaan. Membaca itulah yang dilakukanya. Entah sudah seberapa tebal kacamata minus yang memberati matanya. Bagiku perpustakaan yang penuh buku itu nggak ada asik-asiknya. Membosankan lebih enak di kantin. Perut kenyang apalagi kalau ketemu kakak kelas yang keren kan bisa dikecengin.

Tanpa terasa jam istirahat berakhir. Aku kembali masuk ke kelas. Sampai di kelas, kudapati anak-anak bersorak kegirangan. Pak Ali ada rapat. Ulangan ditunda. Entah aku harus bahagia atau sedikit gelisah. Karena sebagai gantinya anak-anak harus mengerjakan tugas kimia dengan teman sebangku. Itu berarti aku harus bekerjasama dengan Angga. Oh, tidak. Apa aku harus bicara dengan” Gunung Es” itu? Bicara dengan dia sama saja bicara dengan batu.

Tapi musti bagaimana lagi, hari ini tugas harus dikumpulkan. Tidak dapat nilai tugas malah berbahaya. Terpaksa kali ini aku musti bekerjasama dengan Angga.

Pertamakali bicara dengannya memang terasa hambar. Pandangannya dingin dan bicaranya singkat. Namun setelah mengerjakan soal, ternyata ia asyik juga. Aku jadi paham tentang konsep mol. Dia mengajariku dengan telaten. Aku bisa menemukan sisi baik Angga. Aku merasa Angga lebih pintar mengajar daripada Pak Ali.

Seiring berjalannya waktu, aku dan dia mulai akrab. Dia mulai biasa bercerita padaku. Tentang hobinya, masa kecilnya, keluarganya, bahkan impiannya. Aku mencoba mengajarinya bergaul dengan teman. Bagiku tidak ada gunanya kalau hanya pintar tapi tak punya teman. Dia mulai bisa berkomunikasi dengan teman-teman, bermain dan bercanda dengan mereka. Sementara, sejak bergaul dengan dia aku jadi suka membaca. Perpustakaan dan buku bagiku bukanlah momok yang menyebalkan dan perlu dihindari. Nilaiku mulai merangkak naik. Tapi bukan karena dia mengajariku saat ulangan, tapi dia selalu membimbingku dalam memahami pelajaran.

Semakin dekat aku dengan Angga, para biang gosip di kelas mulai kasak kusuk. Mereka mulai menyebarkan gossip-gosip miring antara aku dan Angga. Gara-gara gosip itu persahabatan kami mulai renggang. Angga sedikit menjauhiku. Aku juga mengambil inisiatif untuk tidak duduk dengannya lagi. Aku tak lagi bersamanya saat istirahat ataupun pulang sekolah. Waktuku kuhabiskan dengan membaca di perpustakaan. Sementara Angga lebih memilih duduk sendirian di kelas.

Keadaan ini berlangsung beberapa bulan. Sebenarnya aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin menyelesaikan masalah ini, tapi melihat wajahnya saja mulutku terasa terkunci. Lidahku kelu.

Aku hanya bisa memandangnya dan mengingat saat-saat indah yang kami lewati bersama. Aku ingat saat dia berlari,dia tertawa,dia tersenyum, dia sedih…….dia……tanpa terasa mataku basah oleh air mata. Aku menangis.

“Ceria”ada tangan lembut menyetuh pundakku. Aku kaget cepat-cepat kuhapus air mataku.

“Ada apa Cha?” tanyaku.

“Ini ada surat dari Angga.”Icha berbisik lirih.

“Dari Angga?Yang bener?Kamu tidak bohong?”

“Sudah baca saja dulu.Nanti kalu ada apa-apa bilang saja sama aku. Aku ke kelas dulu.Belum ngerjain Pr nih”

Aku tersenyum .”Terima kasih,Cha”.

Aku membuka surat Angga.Isinya sangat singkat.”Pulang sekolah tunggu aku di bunderan H I.”Bunderan H I?Mengapa dia memilih tempat itu?Tempat itu bukanlah Bundaran H I yang berada di Jakarta, tetapi sebuah kolam bundar yang jarang ada ikannya. Di situlah tempat sepasang kekasih bertemu untuk menyelesaikan permasalahan mereka.

Meski sedikit heran, tetapi aku tetap datang, sambil menunggu, aku duduk duduk di DPR(Dibawah Pohon Rindang). Kami selalu menyebut beberapa tempat dengan istilah aneh-aneh. Misalnya saja deretan kelas di sebelah timur disebut” Texas”. Sementara kami menyebut kelas di sebelah barat koperasi dengan sebutan” Bastille” singkatan dari bocah still”. Memang seperti nama-nama tempat diluar negeri. Tapi kami merasa senang dan bangga menyebutnya seperti itu.

Lewat sepuluh menit dia belum datang. Hampir saja aku melangkahkan kakiku dari tempat itu. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku.”Ceria, tunggu!”.

Langkahku terhenti.”Maaf aku terlambat”Kulihat sesal di wajahnya.

“Ria aku ingin minta maaf atas perlakuanku selama ini. Aku memang menjauhimu. Tapi bukan berarti aku ingin memutuskan persahabatan kita”.

“Ria, aku melakukanya karena aku tak bisa menahan sesuatu. Ini semua sangat membebaniku. Aku takut kau marah padaku kalau aku mengatakan hal ini”.

“Katakan apa?”Aku tidak sabar, penasaran dengan apa yang akan dikatakannya.

“Maafkan aku.Watashiwa anala o….aishite imasu”.Angga tertunduk.

Hening sejenak. Aku merasakan jantungku terasa berhenti berdetak. Kepalaku pusing, serasa dunia berputar begitu cepat.

“Angga, kau?”akhirnya aku buka suara.”I dont believe that.

“Mungkin kau tak percaya dengan apa yang aku katakan, Ria. Tapi itulah kenyataanya!!.

Angga terseyum.”Aku tahu kau kaget. Tapi aku tak meminta jawabanmu sekarang. Pikirkanlah dengan jernih. Segala keputusanmu akan kuterima”.

Aku hanya bisa tertunduk memandangi dedaunan yang berserakan. Perlahan aku melihat kaki Angga melangkah pergi. Aku belum bisa memutuskan apa-apa sekarang. Kepalaku pusing, perutku mual. Aku malah merasa ingin cepat ke kamar mandi. Aku melangkah tergesa-gesa. Firasatku ada sesuatu yang salah dengan diriku.

Aku masuk ke kamar mandi dan melihat apa yang terjadi pada diriku.”Oh,apa ini?” Aku hampir saja menjerit. Haruskah aku melonjak kegirangan atau takut karena saatnya tidak tepat. Tapi aku bersyukur pada Tuhan, sebab penantianku selama ini tidak sia-sia. Ada setetes darah di celana dalamku. Dan itu berarti aku masih cewek normal.

T A M A T

Label: ,