Cerita sebelumnya:
Amplop Putih Dipertanyakan (3)
Jeritan ayam jago menyadarkan ibu Cantik dari mimpinya yang tak sempurna.
Ibu Cantik beranjak bangun tidur dengan gontai. Rasa lelah tadi malam hilang begitu saja dimakan ketidakpercayaannya mendapati uang yang dikumpulkan dari salam tempel acara tadi malam jauh dari harapan.
Tidak mencapai angka fantastis dan tidak sebanding dengan banyaknya undangan yang disebar keluarga Pak Djoko.
Shock!!!
Pikiran pak Djoko pun melayang-layang. Memikirkan nasib keluarganya yang terlibat hutang-piutang dengan berbagai pihak. Mengingat, pak Djoko tidak berpenghasilan besar. Ia hanya mengandalkan gaji yang diberikannya sebagai pengurus kuda jantan kesayangan Bupati.
Pak Djoko akan mendapatkan uang tambahan ketika akan ada pacuan kuda. Lelaki yang sudah 15 tahun bergelut dengan pekerjaannya sebagai pengurus istal ini akan bekerja ekstra demi mendapatkan uang lebih. Namun, duit yang didapatkannya tidak sebanding atau bahkan tidak lebih banyak sesuai dengan pekerjaannya yang hanya memandikan secara rutin dan memberi makan rumput atau vitamin kepada kuda-kuda yang akan berlaga melewati rintangan di medan pacuan kuda.
Lalu, darimana kepala keluarga ini akan melunasi hutang kepada pihak-pihak yang terkait dengan pernikahan putri sulungnya dengan Oem?
Entahlah!
…
Meja kecil menjadi saksi bisu.
Ibu Cantik duduk tak jauh dari suami, putri sulung dan menantu barunya untuk membicarakan perihal amplop–amplop berisi uang itu.
Disela-sela pembicaraan, ibu 3 orang putri ini mengaku terlintas sejenak mengenang kembali Mang Likin dan Mak Ijah yang dikeroyok anak buah Koh Aseng, gara-gara tidak segera membayar tagihan pemilik toko sembako yang cukup ternama itu selama berbulan-bulan.
Wajah mereka tertunduk lesu.
Tak bersemangat.
“Rumah di Batu, dikontrakkan saja. Uang muka yang dibayar calon penghuni, akan kita bayarkan kepada Koh Aseng.” suara itu tiba-tiba muncul dari mulut Oem.
Ibu mertuaku ini sudah ku anggap seperti almarhum ibu kandungku yang sudah meninggal sejak aku masih kecil dan tentu saja beliau adalah perempuan yang ku agungkan di alam raya ini. Aku yakin, tanpa darah, keringat dan air mata ibu, anak takkan lahir.
Ini sudah menjadi tekadku, Bu. jawab Oem dengan suara lebih pelan.
Drama dan Oem terdiam.
Dengan sisa tabungan yang semakin menipis, Oem dan Drama menuju sebuah rumah makan terkenal menemui salah satu koki yang membantu menyajikan masakan di acara pernikahannya. Beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan dihantarkannya mendarat di tangan sang koki.
Keluar dari pintu rumah makan itu, pasangan pengantin baru ini dikejutkan suatu hal. Belum sempat sembuh total dari problem seputar hutang yang melanda keluarga barunya, rumah idaman yang justru menjadi tumbal hingga tak adanya pekerjaan yang menjanjikan baginya, Oem dan Drama mendapati motor bertajuk MegaPro itu tak lantas berada di singgasana tepat pertama kali mereka datang. Hilang.
Mereka kembali melangkah.
Matahari sudah ada diatas kepala. Berarti, panasnya sinar matahari akan tetap menusuk persendian tulang-tulang sang pengantin baru.
Belum lengkap masalah hutang-piutang dengan Koh Aseng dan sang pembuat kebaya, Jeng Agustin, Ibu Cantik dirundung malang dan ketakutan yang berlebihan ketika ia terbayang-bayang sosok Mang Likin dan Mak Ijah.
Sesekali Ibu Cantik lunglai. Jatuh pingsan, tak sadarkan diri. Meratapi keborjuisannya saat pernikahan sang buah hati. Belum lagi, penghasilan Pak Djoko yang hanya sebagai pengurus kuda kesayangan Bupati.
Entahlah…
Pernikahan yang masih seumur jagung itu ternyata sudah menuai catatan merah. Sesekali Oem menyandarkan kepalanya ke pundak Drama. Mengungkapkan keluh kesah sang suami. Kepada perempuan –pertama- yang sangat Oem cintai itu, ditumpahkan semua curahan hati dan satu keinginannya yang mengejutkan pemilik nama lengkap Drama Wulandari itu.
“Abang,,jangan bercanda.” Drama tertunduk sedih.
“Iya,,sayang! Semoga,,Abang mendapatkan uang yang lebih banyak lagi dari yang kemarin. Besok Abang akan mengurus semuanya di kantor Bu Sisca”
Lelaki bertubuh perkasa ini mencoba meyakinkan sang istri untuk kembali mencari peruntungan di negeri orang sebagai TKI.
Wajah Drama tak nampak lagi bersinar dan ceria mendengar ucapan lelaki yang semasa hidupnya banyak menghabiskan waktu bersama paman dan bibinya tersebut.
Tetes air mata Drama nampak jelas mengalir deras dari kedua matanya yang indah.
Pasrah.
Label: Amplop Putih Dipertanyakan, Cerpen
Click for Komentar