Hujan mengguyur kota Jakarta yang padat penduduknya. Di kejauhan terlihat dua remaja yang mengadu nasib di depan sebuah toko mewah, gadis berusia 15 tahun itu memainkan sebuah biola dengan penuh penjiwaan, terlihat paras manis, senyuman yang menawan, sederhana, pandangannya lurus kosong namun terlihat ada harapan yang terpancar di dalamnya, sedangkan anak laki-laki yang berdiri di sebelahnya berusia 7 tahun itu adalah adiknya. Mereka terlihat kompak sekali, sesekali orang yang lewat di depan toko itu memberi uang tapi ada juga yang hanya melihat mereka kemudian pergi tanpa memberi uang. Begitulah yang mereka alami setiap hari sebagai pengamen jalanan.
Tak dipedulikannya hujan yang deras, mereka terus saja bermain musik demi uang agar hutang ayahnya terlunasi dan bisa makan. Setiap satu minggu sekali rentenir-rentenir daratan itu menagih hutang pada ayah mereka, karena pada saat itu sang ayah berhutang pada mereka untuk pengobatan ibunya yang sakit parah namun pada akhirnya ibunya meninggal karena kurangnya perawatan. Ayah mereka hanya seorang pemulung yang biasa memperoleh uang sebesar 10.000 – 20.000, itupun melihat berapa banyaknya dia memulung. Acapkali ayah gadis buta itu dihajar oleh para rentenir itu karena belum bisa membayar hutangnya sebesar 500.000 dengan bunganya. Kedua anaknyapun tak mau berdiam diri melihat ayahnya diperlakukan seperti itu. Kebetulan sang gadis buta itu memiliki sedikit kemampuan bermain biola, dulu dia memiliki salah seorang teman yang bisa bermain biola dan pada waktu itu dia mengajarinya memainkan biola itu, temannya itu adalah seorang anak laki-laki yang berbeda usia tiga tahun dengannya namun dari kalangan elit. Meskipun begitu, pemilik nama Dion itu tak pernah sedikitpun membeda-bedakan derajat diantara mereka berdua. Pada suatu hari mereka berpisah karena Dion harus ikut kedua orang tuanya pindah rumah.
Tiba-tiba adiknya memegang tangan kakanya dan membisikkan” kak ayo kita pulang, sudah sore nanti bapak mencari kita.”
Dengan rabaan tangan serta mencari pemilik suara kecil itu dia berkata” sudah sore? sudah jam berapa ini Dang? Kita dapat uang berapa hari ini?.”
“Ya, sudah jam lima sore.” Kemudian Dadang menghitung hasil mengamen bersama kakaknya.
“Kita dapat berapa?.” Fitri bertanya dengan nada penasaran.
“Dapat 25.000 kak. Kita pulang sekarang ya.”
“Alhamdulallah, tapi kita beli beras dulu ya Dang. Buat makan besok, beli 2 kilo saja. Nanti yang sebagian kita kasihkan bapak.”
“Ya, nanti aku beli di warung pok Ijah.”
Setelah mengamen mereka langsung pulang ke rumahnya, namun apa yang terjadi? rumahnya berantakan. Kemudian Dadang berlari meninggalkan Fitri dan melihat apa yang terjadi dengan rumahnya, sedangkan Fitri bingung sendiri dengan ulah Dadang yang tiba-tiba lari dan meninggalkan dirinya berdiri sendiri di sana. Malihat ayahnya meringkuk di pinggir kursi dengan muka lebam dan hidung mimisan. Dadang berlari menolong ayahnya yang meringkuk kesakitan dan kemudian dipapahnya ke kamar. Kemudian dengan merayap-rayap Fitri berjalan menuju arah mereka.
“Ada apa pak? Kenapa bapak seperti ini? Apakah mereka lagi yang berbuat seperti ini?.” Kata Dadang penasaran dan cemas melihat ayahnya lebam-lebam seperti itu.
Kemudian disusul dengan Fitri,” Ada apa Dang? Bapak kenapa?.” Dadang menuntun kakaknya untuk mendekati ayahnya.
“Bapak kenapa?” sambil menyentuh wajah ayahnya yang kesakitan.
“Bapak tidak apa-apa kok nak, tadi cuma jatuh.” Ayahnya sengaja berbohong karena dia tidak ingin anak-anaknya cemas, namun Dadang mengelaknya karena dia tahu persis bahwa rentenir-rentenir itulah yang melakukannya.
“Bapak tidak usah bohong! pasti mereka yang melakukannya iya kan?.” Dadang berkata dengan nada emosi.
“Sudahlah, yang penting bapak tidak papa. Kalian berdua tidak usah kawatir, bapak baik-baik saja. Bapak merasa bersalah pada kalian karena telah melibatkan kalian dalam masalah ini. Bapak tidak ingin kalian bekerja, biarlah bapak sendiri yang mencari uang.”
Sambil memegang tangan ayahnya, Fitri berkata dengan penuh pengertian” bapak tak usah merasa bersalah pada kami, justru jika kami berdua hanya diam saja dan tak membantu bapak. Maka aku dan Dadanglah yang merasa bersalah. Kami tak tega melihat bapak diperlakukan kasar seperti itu. Meskipun aku tak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan betapa kejinya mereka itu dan betapa pedihnya yang bapak rasakan, memikul beban yang begitu berat. Maka dari itu kami tak mau berdiam diri, kami selalu ada untuk bapak karena bapaklah yang kami punya.”
“Alhamdulillah, bapak bangga memiliki anak-anak seperti kalian. Bapak ingin minta maaf pada kalian karena tidak bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian, tidak bisa menyekolahkan kalian, membelikan pakaian yang bagus untuk kalian dan masih banyak lagi kekurangan bapak.”
Label: Cerpen, Pelangi Jalanan
Click for Komentar