Cerita sebelumnya:
Cerpen: Pelangi Jalanan (2)
“Bapak tak boleh bicara seperti itu, kami selalu bahagia walaupun hidup dalam kekurangan. Kami selalu mensyukuri apa yang kita peroleh, bapak selalu mengajari seperti itu pada kami. Seharusnya kami yang minta maaf pada bapak, mungkin selama ini kami yang selalu merepotkan bapak.”
“Bapak sama sekali tak merasa repot, malah sebaliknya bapak merasa bahagia memiliki anak-anak seperti kalian.”
Setelah kejadian itu, mereka bertiga lebih giat bekerja. Pada saat mereka berdua mengamen di salah satu depan toko, ada seorang kakek yang mendengarkan musik biola yang dimainkan Fitri. Kelihatannya kakek itu takjub sekaligus bangga dengan permainan biola gadis itu karena musik itu adalah ciptaannya yang pernah dibawakan oleh cucunya yang seorang pemain biola. Kemudian, si kakek memberikan lima puluhan ribu kepada Dadang seraya berkata” Permainan biolamu bagus sekali nak, kamu belajar dari mana dan mendapat musik ini dari mana?”.
Fitri mencari arah datangnya suara itu,” terima kasih pak.” Dia memanggil pak karena dia tak tahu bahwa yang bertanya adalah seorang kakek.
“Panggil saja saya kakek Jaya.” Kakek ini menerangkan bahwa dirinya sudah tak pantas dipanggil bapak lagi oleh gadis seusia Fitri.
“Oh maaf kek, maklum saya tidak tahu.”Kemudian Dadang menerangkan kalau kakaknya buta.
“Wah maaf ya nak … kakek tadi tidak tahu. Nama kalian siapa?. Maukah kalian menemani kakek di taman itu?.”
Fitri menjawab sambil memperlihatkan senyuman manisnya,” boleh kek,
nama saya Fitri dan ini adik saya Dadang.”
Kemudian mereka bertiga pergi ke taman di seberang jalan itu dan kakek membeli tela-tela dan coca cola untuk mereka berdua.
“Oh ya permainan biolamu tadi bagus sekali tapi maaf ya kalau boleh tahu kamu mendapat lirik musik itu darimana?.”
Fitri menjawabnya dengan santai dan jujur,” dulu saya pernah punya teman yang mahir bermain biola kemudian saya di ajari memainkannya dan musik ini juga dari dia, saat itu dia sering memainkan musik ini karena musik inilah yang paling dia suka. Dia pernah berkata bahwa musik ini adalah ciptaan kakeknya.”
“Benarkah itu nak?.” Kata kakek itu terharu.
“Ya kek, saya senang sekali mendengar dia bercerita tentang kakeknya. Begitu sayangnya dia terhadap kakeknya dan begitu pula sebaliknya.” Gadis pemillik lesung pipit itu bercerita dengan girangnya karena dia pernah memiliki seorang teman yang begitu baik padanya dan keluarganya.
“Ya nak, Dion itu memang anaknya baik dan tak suka membeda-bedakan teman.”
“Loh, kakek kok tahu namanya Dion?!.” Nada heran muncul dari mulutnya.
Pandangan kakek itu menerawang jauh, terlihat di raut wajahnya kerinduan yang mendalam kepada cucunya.” Dion cucu tersayang kakek, maka dari itu musik yang kau mainkan tadi mengingatkan kakek akan cucuku tersayang.”
“Jadi mas Dion cucu kakek?. Sekarang dia ada dimana kek?. Bolehkah saya ketemu dengannya? Saya ingin menyampaikan rasa terimakasih kepadanya karena kini saya bisa bermain biola pemberiannya.”
“Tentu saja boleh, satu bulan lagi dia datang ke Jakarta. Nanti kakek kasih tahukan ke dia. Pasti dia senang sekali, karena waktu itu Dion pernah bercerita bahwa dia punya teman yang dia ajari bermain biola dan ternyata kakek sudsah menemukanmu.”
“Terima kasih kek karena telah mengijinkan saya bertemu mas Dion.”
“Tidak usah seperti itu, kakek juga menganggap kamu sebagai cucu kakek. Dimana alamatmu, nanti kakek bermain ke rumahmu.”
“Kalau kakek tidak jijik ke gubuk kami, silahkan mampir di perkampungan kumuh tak jauh dari sini kek. Tapi jika kakek kesulitan menemukan alamat kami, temuui saja kami berdua di depan toko-toko sekitar sini.”
“Kenapa harus jijik? Kakek juga manusia seperti kalian tak ada perbedaan diantara kita. Ya sudah, nanti kakek akan mampir kerumahmu atau kakek akan mencari kalian di sekitar sini. Kalau gitu, kakek pulang dulu ya. Hati-hati ya kalian dan salam buat keluarga kalian.”
Sejak saat itu si kakek sering menemui mereka di area toko-toko kota itu dan sesekali berkunjung ke rumah gadis buta itu. Hubungan si kakek dengan keluarga Fitri mulai terjalin. Si kakek terharu sekali dengan kehidupan mereka bertiga yang serba kekurangan.
Bulan yang dinanti-nantikan Fitri akhirnya datang, dia sangat ingin bertemu dengan Dion yang baik hati itu. Di seberang kota terdapat rumah berukuran luas dan bertekstur rumah klasik modern, di tamannya terdapat air mancur lengkap dengan berbagai macam bunga, sejuk sekali pemandangannya. Di dalam halaman luas itu ada sebuah mobil avanza biru tua. Di dalam rumah itu ada tiga orang pembantu dan dua orang yang sedang melepas rindu, mereka tak lain adalah Kakek Jaya dan Dion.
“Kamu tambah kurusan tapi tambah cakep…”
“Kakek juga iya, aku rindu banget sama kakek. Kakek baik-baik saja kan di sini?.”
“Bagaimana kelihatannya?.”
Sembari memandang kakeknya penuh selidik,” Mmmmm, kakek kelihatan ceria sekali. Apa kakek menemukan bidadari?.”
“Benar sekali tebakanmu.”
“Jadi… aku udah punya calon nenek baru?.”
“Masak kakek harus menikahi gadis berusia 15 tahun …ayam bisa tertawa.”
“Maksud kakek apa sih, aku nggak ngerti?!?.”
“Kamu masih ingat dengan ceritamu waktu itu? Kamu pernah punya teman seorang gadis buta yang kau ajari bermain biola?.”
“Fitri!!!.”
“Yup! Benar, beberapa hari ini kakek sering menemuinya mengamen di depan toko-toko dengan bermain biola dan membawakan musik yang pernah kakek ciptakan.”
“Benarkah itu?. Dia sekarang dimana? Apakah dia baik-baik saja?.”
Dengan nada menggoda, kakeknya berkata” Dia baik-baik saja, satu hal lagi dia tumbuh menjadi gadis manis lo.”
“Kakek ini ada-ada saja.”
“Oya dia ingin ketemu sama kamu, kamu bisa apa tidak bertemu dengannya.”
“Insyallah besok aku mau menemuinya.”
Label: Cerpen, Pelangi Jalanan
Click for Komentar