So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 12/06/13 | @ 10.57

Cerita sebelumnya:


Cerpen: Pelangi Jalanan (3)

Keesokan harinya, Dion mencari kedua beradik di area pertokoan yang biasa mereka pangkali. Tapi sudah berjam-jam dia mencari tidak menemukannya. Tak terasa hari sudah sore dan Dionpun pulang dengan kekecewaan. Kemudian kakeknya bertanya apakah dia sudah menemukannya, Dion menceritakan pencariannya yang gagal dengan nada kecewa. Tapi si kakek memberikan semangat kepadanya agar tidak berpurus asa.

Sudah dua minggu Dion mencari keberadaan Fitri tapi tak ketemu juga. Kota Jakarta sangat luas sekali, kemana dia akan mencarinya?. Dia menelusuri di area kumuh bersama kakeknya dan di rumahnya tidak ada orang bahkan rumah reot itu kosong tak ada satu barangpun disana. Kemudian mereka berdua mencari tahu kemanakah keluarga gadis itu pergi. Ada seorang ibu tua yang sedang menjemur pakaian, kemudian kakek dan cucu itu bertanya keberadaan keluarga Fitri.

“Wah saya sendiri saja tak tahu pak, sudah dua minggu ini mereka pergi.”

“Apakah yang menyebabkan mereka pergi bu?.” Kata kakek Dion pada ibu itu.

“Bapak Fitri itu punya hutang banyak pada Nyonya Mina terus dia tak sanggup membayar hutangnya itu. Nah, mereka itu diusir dari sini dengan kasar sekali pak. Sebenarnya kasihan sekali mereka itu, kalau saya bisa membantu ya saya bantu berhubung saya sendiri hidup kekurangan, ya bagaimana lagi.”

“Apakah ibu tahu berapa hutang bapaknya Fitri pada bu Minah?.”

“Kalau gak salah sekitar 500.000 pak.”

“Boleh saya minta alamat bu Minah?.”

“Tentu boleh.” Ibu itu memberikan alamat bu Minah.

Dengan langkah pasti kedua orang itu pergi ke rumah bu Minah dan sesampainya di sana mereka mengutarakan maksud hatinya untuk membayar hutang bapak Fitri. Dan maksud hati mereka itu diterima dengan baik oleh bu Minah. Setelah urusan selesai, mereka berdua pulang.

Rasa putus asa ada pada Dion, begitu inginnya dia bertemu dengan teman lamanya itu. Namun, keinginannya tuk mencari gadis itu tak surut sama sekali. Dengan dukungan si kakek sekaligus di bantu oleh kakek dalam pencariannya.

Di ujung jalan sana tepatnya di sebuah taman yang ramai oleh pengunjung ada sepasang pengamen yang asik bermain biola. Mereka tak lain adalah Fitri dan Dadang, selama ini mereka hidup di sebuah rumah kardus di kolonng jembatan. Begitu menyedihkan nasib mereka. Sedangkan ayahnya sakit parah karena terlalu lelah bekerja dan menahan siksaan batin saat di rumah gubuknya dulu. Tapi dengan tabah mereka bertiga menerima perlakuan kasar mereka dan bersedia pergi dari rumahnya.

Setiap hari kedua beradik itu berpangkal di taman itu. Mereka tak tahu di kejauhan sana ada dua orang yang sedang mencari mereka. Saat Dion dan kakeknya mencari pengamen di sebuah taman yang biasa dipangkali kedua beradik itu, Fitri dan adiknya mengamen di belakang mereka saat duduk istirahat karena kelelahan dalam pencariannya. Suara musik itu membuat keduanya cepat-cepat mencari dimana arah sumber bunyi itu berada. Legalah hati mereka berdua saat melihat dua pengamen itu mengamen di taman itu. Tanpa aba-aba lagi Dion berlari dan memeluk Fitri seakan-akan dia telah lama mencari sesuatu yang selama ini hilang dari hadapannya. Karena kaget, Fitri hanya bisa diam dan melongo saja.

“Akhirnya aku menemukanmu.” Bisik Dion pada Fitri.

“Siapa kamu!!!.” Fitri berkata dengan ketus karena dia merasa telah dipermalukan di depan umum. Maklum dia tak tahu siapa yang memeluknya kini. Dadang Cuma diam saja menyaksikan itu semua karena Kakek Jaya langsung mennggenggam tangannya saat Dadang ingin menolong kakaknya dan kakek memberi isyarat bahwa itu Dion.

“Ini aku Dion, apa kamu sudah lupa?.”

“Benarkah ini mas Dion?.”

“Ya ini aku. Sudah dua minggu ini aku mencarimu tapi tak ada. Kenapa kamu pergi begitu saja, tak kasih kabar pada kakek.” Sambil membimbing Fitri ke bangu di taman itu dan diikuti oleh adik dan kakek Jaya.

Setelah duduk, Fitri menceritakan semua hal yang telah di alaminya selama ini dan jelaslah bahwa mereka kini hidup dalam kesusahan. Kemudia Fitri menceritakan saat ini mereka tinggal di sebuah kolong jembatan dirumah kardus. Dan saat ini ayahnya sedang sakit parah.

Pada akhirnya ayah Fitri meninggal karena tubuhnya tak lagi kuat menahan sakit yang parah itu dan dia terlambat dalam memperoleh pengobatan. Meskipun saat itu dia sudah dibawa ke rumah sakit oleh Dion, tapi Tuhanlah yang berkehendak untuk semua itu.

Sejak ditinggalkan oleh ayahnya, Fitri dan Dadang diangkat sebagai cucu oleh kakek Jaya. Mereka berdua disekolahkan dan mendapatkan kehangatan dalam sebuah keluarga yang harmonis. Dan Dion mendapat keluarga baru, mereka berdua dianggap sebagai adik kandungnya sendiri. Namun, ternyata Fitri lebih memilih untuk hidup sebagai Fitri yang dulu yang sebagai anak jalanan, bedanya kini dia hidup bukan sebagai pengamen tapi sebagai seorang yang menghibur dan menolong anak jalanan dengan bantuan kakek Jaya, Dion, dan Dadang. Kehidupan mewah tak bisa membahagiakan dia. Mereka hidup dengan penuh arti dan saling menolong dalam segala hal. Suatu hari Fitri mengusulkan agar kakeknya bisa membangun sebuah rumah singgah untuk anak jalanan itu. Dan akhirnya dengan kebaikan kakek, dibangunlah sebuah rumah singgah untuk anak jalanan sekaligus memberikan pendidikan pada mereka. Begitulah kehidupan seseorang yang pernah berada di bawah dan saat mereka hidup dalam kecukupan tak melupakan orang-orang yang ada dibawah.

T A M A T

Label: ,