Cerita sebelumnya:
Bunga Itu… (2)
13 September 2007
Aku melakukan hal yang sama seperti biasanya, bangun, mandi, dan ke kampus. Tapi entah mengapa akan ada sesuatu yang terjadi. Aku selalu berusaha menepisnya dan aku mulai cerita pada Bara mengenai perasaanku.” sayang, kenapa ya perasaanku kok nggak enak? Aku merasa akan kehilangan sesuatu. Tapi aku nggak tahu apa?” Bara hanya tersenyum, sambil berkata” Jangan terlalu dipikirkan, aku akan selalu bersamamu. Jadi kamu tenang aja ya!” tiba-tiba HP Bara bunyi, ada pembicaraan singkat yang aku tak tau apa isinya. Dan Bara berkata” Sayang , aku jemput mama dulu ya, soalnya papa nggak bisa jemput, tunggu aku ya!”,sambil mencium keningku dan berlalu. Tapi entah mengapa sepertinya aku tak rela membiarkannya pergi seolah-olah dia akan pergi selamanya, meninggalkanku dalam kesendirian dan kesedihan.
Dua jam kemudian Hpku berbunyi, aku kira Bara yang menelponku, tapi ternyata Rian, kakak Bara. Tanpa banyak berfikir panjang kuangkat telponnya, suara kak Rian sangat pelan dan terdengar samar seperti sedang menangis. Dan akupun bertanya,” Kak Rian kenapa, kok menelpok aku? Ada apa kak?” Kak Rian pun menjawab” Aku …..cuma ….. mau beritahu sesuatu sama kamu. Tapi yang tabah ya…Bara meninggal dalam kecelakaan waktu jemput mama tadi.” Dunia seakan berhenti berputar, aku seakan tak percaya akan kabar itu. Tapi setelah aku baca nisan di hadapanku, aku tak berdaya dan embun di daun ini perlahan menetes.
Bara telah pergi, pergi untuk selamanya. Hanya kenangan manis dan pahit yang terkenang. Aku harus merelakan kepergiaannya walau dalam diri ini sakit. banyak kejadian manis antara kami berdua. Saat itu aku dan Bara pergi ke kebun teh, udaranya dingin dan sejuk. Sampai-sampai aku harus pake baju hangat dan syall. Kita bermalam di sebuah vila miliknya. Di teras vila, kita berdua memandang indahnya langit malam hari, berjuta bintang dan senyuman bulan. Malam itu aku bergegas tidur. Bara menghampiriku, dia mengucapkan selamat tidur sambil mencium kening dan memelukku erat. Pelukan tak seperti biasanya kutatap mata indahnya, tiba-tiba dengan lembut, dengan… sangat…. lembut….ia mencium bibirku erat. Setelah beberapa detik kami beradu bersama alam yang dengan puasnya menyatukan kami, aku terjatuh di atas lembutnya busa sofa. Aku hanyalah manusia biasa yang sedang jatuh cinta. Aku seperti orang linglung dan tak mampu segala kesadaran, ragaku menerima segala perlakuan manisya. Malam itu aku melakukannya dengan rasa cinta. Kehangatan dan kenikmatan yang tak pernah kutemukan sebelumnya.
Sejak saat itu, rasa cintaku pada Bara makin bertambah. Mungkin Bara juga merasakan hal yang sama. Bara pernah janji padaku, bahwa dia akan melamarku setelah lulus kuliah dan mendapatkan kerja. Tapi sekarang janji itu tinggalah janji. Orang yang menjanjikannya telah pergi. Hari-hari kujalani sendiri tanpa senyuman Bara, tatapan mata Bara, dan canda tawa Bara. Aku tak pernah bisa hidup tanpa Bara, akau membutuhkan Bara. Tapi inilah hidup, semua yang mengatur adalah Tuhan. Kita tak tau apa yang terjadi pada kita selanjutnya.
Dua tahun kemudian……
Aku tau Bara telah lama pergi, aku masih saja tak bisa melupakannnya. Aku tak ingin menghianati cintanya. Dan hari inipun aku masih sendiri. Sering aku ingin merasakan belaian tubuh Bara seperti malam di vila itu. Namun tak apa keberanian di diriku untuk melakukannya dengan pria lain. Hingga suatu saat aku berkenalan dengan seseorang di internet. Kenia namanya. Sepertinya dia baik, dia juga pernah mengalami hal sama sepertiku. Pacarnya overdosis saat pesta sabu-sabu. Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe dekat kostku. Sore itu, Kenia sudah menungguku di meja nomor 9.
“Hai, kamu Mitha kan? Aku Kenia. Ayo duduk” kata Kenia.
“Oh ya thanks . Ehm, kamu kok tau sih kalo aku Mitha?.
“Ya iyalah aku tahu kamu, kamu sendiri kan yang bilang kalo kamu pake baju biru dan celana jeans. Ya, aku langsung aja manggil kamu.”
“Gitu ya…..bego banget aku”
“Udahlah biasa aja kale. Oya kamu mau makan dan minum apa? Aku yang traktir dech, gimana?”
“Wah,thanks banget ya Ken. Kamu baek banget sich, padahal kita baru kenal”.
Sambil menunggu makanan dan minuman, Kenia banyak cerita tentang kehidupannya. Aku hanya menjadi pendengar setianya. Kemudian pelayan datang mengantar pesanan kami.
“’Ayo mit makan” ujar Kenia.
“’Ehm” Jawabku singkat.
“Mit,tempat kost kamu di deket sini ya?” tanya Kenia.
“Iya kenapa?”
“Oh,enggak aku boleh gak maen-maen ke kost kamu?”
“Ya boleh donk Ken, lagian juga dengan gitu kita kan jadi lebih akrab.”
Sepulang dari kafe, aku diantar Kenia pulang. Kami berdua semakin akrab. Kenia pun sering menjemputku kuliah atau sekedar main-main ditempatku.
Seperti biasanya aku pulang kuliah sendiri. Didepan kamar kudapati Kenia duduk sambil memainkan konci mobilnya.
“Hai Ken, tumben kamu sore-sore kesini? Tanyaku heran.
Nggak ada apa-apa kok, aku cuma pengin jemput kamu ke rumahku, orangtuaku nggak ada di rumah, ntar kamu nginap di rumahku ya!”
“Ok, bentar ya, aku mau ganti baju dulu”.
“Aku tunggu di mobil, kamu nggak usah bawa baju, ntar kamu pake bajuku aja”. Sampai di rumah Kenia aku melihat sebuah istana yang indah. Tapi kenapa Kenia nggak pernah betah tinggal di urmah, tanyaku dalam hati. Dia anak orang kaya, kadang aku merasa kasihan padanya, dia tak pernah sekalipun bercana ataupun bergurau dengan orangtuanya. Dia juga jarang metemu dengan keduaorangtunya. Tiba-tiba aku merindukan kehangatan keluargaku, telah lama aku tak bertemu mama dan papa. Mereka hanya memastikan keadaanku lewat telpon.
Kamar Kenia cukup luas. Ada sebuah komputer, televisi, dan tape kompo. Di meja dekat kasur busa Kenia, ada sebuah seorang pria. Photo itu seumuran lebih tua dari Kenia. Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Ken, ini photo siapa, kamu kan anak tunggal?”
“Dia Mario. Cowokku yang meninggal karena overdosis. Dulu hubunganku tak seperti yang lain. Setiap bertemu, kami selalu melakukan hubungan intim layaknya suami istri. Itu sudah menjadi kebiasaan antara kami.
Sampai larut malam Kenia sharing padaku. Aku melihat tatapan mata yang aneh. Perlahan dia menyetuh tanganku, aku anggap sentuhan itu adalah ucapan teman karib kaena aku menjadi sahabatnya. Kemudian dia mencium pipi, kening, dan bibirku. Kelinglungan menguasai jiwaku. Aku menerima perlakukan Kenia yang lembut. Malam ini terulang lagi. Aku melakukan hubungan intim dengan Kenia. Aku merasakan kembali sentuhan lembut Bara. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, selama itu aku hanya melakukan dengan Kenia. Aku menganggap tak tak menghianati Bara, aku memang wanita, tapi orang tak tau kalo aku wanita abnormal. Aku tak bisa hidup tanpa belaian Kenia. Aku seorang lesbian.
By: Eka Meilinda Fitriana
Click for Komentar