Cerita sebelumnya:
Gaun Pengantin (2)
Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apakah ibu tindak mencintaiku ? jarang aku mendapatkan belai kasihnya. Sudah dua minggu ini aku dirumah. Hingga saat inipun sikap Ibu padaku masih tetap sama sepertinya Ibu tak memahamiku. Kami jarang sekali bercanda, layaknya Ibu dan Anak yang jarang bersama. Saat aku di Jakarta, Ibu juga jarang menelponku. Meskipun menelpon itupun hanya lewat budhe dan hanya salam yang dititipkan untukku.
Satu hal yang membuatku heran. Sejak Rini menikah, sikap Rini berubah terhadap Ibu setiap ia datang, sepertinya selalu membawa suasana baru bagi mereka.
“Vina suatu saat nanti, engkau akan tahu dan menyadarinya” Begitu ucap Rini padaku, saat aku menyampaikan keherannaku akan sikapnya pada Ibu akhir – akhir ini.
“Kring ….. !” Aku beranjak dari tempat duduk dan berlari menuju telepon Budhe menyatakan padaku bahwa aku diterima untuk menjadi pengajar di Papua. Aku begitu bahagia karena impianku untuk menjadi pengajar akan segera terwujud meski didaerah terisolir sekalipun seperti papua.
Hal inilah yang menyebabkan harus kembali ke Jakarta. Setelah semua urusanku selesai aku kembali ke Surabaya. Hari – hari terakhir menjelang keberangkatanku ke Papua membuatku sibuk. Bahkan aku tak sempat membantu Ibu untuk sekedar memasak atau membersihkan rumah. Namun sekali ini Ibu tak menegurku.
Malam telah larut, aku baru saja pulang dari rumah Rini. Kumasuki rumah perlahan saat aku hendak memasuki kamar, kudengar suara Ibu yang ternyata masih duduk didepan televisi.
“Makan dulu Vin ……….” kata Ibu
Kubalikkan badanku dan menuju meja makan. Setelah makan, kuberniat untuk berbagi cerita dengan Ibu. Akhirnya, kuurungkan kembali niatku saat kulihat ibu telah memasuki kamarnya.
“Apakah Ibu lupa bahwa ini malam terakhirku bersamanya sebelum aku berangkat besuk ?”
Ah, sudahlah lupakan saja !” kataku dalam hati
Sikap Ibu takkan berubah padaku. Mungkin hanya Rini yang mampu memahaminya.
Saat aku memasuki kamar, mataku tertuju pada lipatan warna putih diatas meja riasku. Segera kuraih gaun itu, kulihat didalamnya gelang dan cincin emas serta sebuah amplop berwarna putih. Pikiranku tak tentu, baju ini adalah gaun pengantin Ibu. Dan perhiasan ini adalah satu – satunya milik Ibu selain kalung yang telah dihadiahkan kepada Rini saat hari pernikahannya.
Aku terdiam bersama gaun, perhiasan serta amplop ditanganku. Aku semakin bingung dengan ini semua.
“Apa maksud Ibu ?” Kataku dalam hati sambil kubuka amplop yang ternyata berisi surat.
“Vina sayang …..” aku mulai membaca surat itu.
“Telah lama Ibu menyimpan gaun pengantin dan perhiasan ini. Tadinya Ibu bermaksud untuk memberikannya untukmu dihari pernikahanmu kelak. Namun, ibu rasa sekarang kau membutuhkannya. Selain itu,Ibu takut tak sempat melihatmu dihari pernikahanmu nanti.
Ibu memilihmu untuk menerima gaun pengantin ini, karena perawakanmu sama seperti perawakan Ibu. Engkau pasti cantik saat mengenakannya. Hanya engkau dan Rini yang Ibu miliki. Ibu sangat mencintai kalian berdua. Ibu ingin kau menjadi wanita tegar dan mandiri. Jagalah dirimu baik – baik, karena tak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok. Hidup tak semudah yang kita tata. Dimanapun kau berada, kau tetap anakku, yang membuat Ibu tegar menjalani hidup ini. Do’a Ibu selalu menyertaimu nak ………”.
Aku tak bisa lagi menahan air mataku, aku terisak. Aku mulai mengerti apa yang dimaksudkan Rini saat itu. Aku tahu, mengapa Ibu tidak menyampaikan ini secara langsung. Ibu memang tidak ingin menangis dan terlihat rapuh dihadapan anak – anaknya. Dan Ibu selalu memilih menyimpan masalahnya sendiri. Aku terus menangis sambil memeluk hadiah dari Ibu, hingga akhirnya terlelap.
Saat aku bangun, segalanya telah berubah. Tanpa kusadari, semalam Ibu menyelimuti dan membenarkan letak tidurku. Begitu juga pagi ini, Ibu telah menyiapkan sarapan untukku. Rasanya sangat berat untuk meninggalkan Ibu dan hidup jauh darinya. Tapi inilah pilihan hidupku, dan bagaimanapun aku harus menjalaninya.
Ibu dan Rini mengantarku ke Bandara pagi ini. Tak ada air mata diantara kami. Hanya ciuman lembut yang diberikan ibu untukku. Perlahan aku meninggalkan mereka menuju pesawat.
Kulihat dari kejauhan, lambaian tangan Ibu. Ibu begitu tegar, meski kutahu perpisahan bukanlah hal yang mudah. Aku menangis sejadi – jadinya. Pertanyaanku selama ini terjawab sudah. Ibu benar – benar mencintaiku. Tak ada yang dapat menandingi besarnya kasih Ibu. Aku meyakinkan diriku, untuk dapat menjadi orang setangguh dan setegar Ibu, meski hidup memang tak mudah.
Zuli Arofah
Label: Cerpen, Gaun Pengantin
Click for Komentar