So Aja

Baca online: cerpen, puisi, naskah drama, surat

0 Komentar 14/06/13 | @ 11.09

Gaun Pengantin (1)

Siang ini udara Jakarta begitu panas. Musim liburan telah membuat segalanya menjadi serba semrawut. Antrian tiket yang panjang membuatku malas beranjak dari tempat duduk. Kepalaku berkunang – kunang melihat sederetan orang yang sibuk mengantri tiket, atau orang yang mondar – mandir untuk sekedar meregangkan otot punggung akibat duduk berjam – jam.

“Mau pergi kemana jeng ?” lekaki paruh baya bertanya padaku.

“Mau ke Surabaya Pak,” jawabku dengan nada kalem

“Kok tidak naik pesawat saja ? kan lebih nyaman ! Apalagi saat musim liburan seperti ini.

Aku hanya tersenyum, sejenak aku berpikir dan akhirnya kuurungkan niatku untuk pulang dengan kereta. Aku kembali kerumah budhe dan pulang esok hari dengan pesawat.

“Lho ! kok balik lagi ? Vina nggak jadi pulang ?” tanya budhe padaku

“Saya lelah sekali budhe, keretanya penuh” jawabku sambil mencium jemari budhe yang lembut.

“Apa budhe bilang, naik pesawat kan lebih enak ………”

Aku begitu lelah hari ini, kurebahkan tubuhku begitu saja diranjang kamarku hingga akhirnya terlelap.

Aku tersentak, saat mendengar derit pintu yang dibuka. Budhe masuk dan mendekatiku.

“Makan dulu, Vin, budhe buatkan oseng – oseng kangkung kesukaanmu. Budhe juga telah memesankan tiket pesawat untukmu, besuk pesawat berangkat jam 11 siang”

“Budhe, saya terlalu banyak merepotkan budhe …….”

“Hussst………….sudah cepatlah mandi dan makan, nanti sayurnya keburu dingin”

Budhe dengan pembawaannya yang kalem, memang begitu baik padaku. Beliau tidak memiliki momongan, telah menganggapku sebagai putrinya sendiri. Itulah yang membuatku malas untuk pulang ke Surabaya, kota kelahiranku. Budhe hanya tinggal berdua bersama pakdhe yang berprofesi sebagai tentara, sehingga jarang berada dirumah. Budhe begitu bahagia, saat kuputuskan untuk tinggal bersamanya. Sudah empat tahu aku tinggal dirumah ini, dan sekarang saatnya aku pulang karena pendidikanku telah usai. Kini tinggal menunggu pengumuman apakah pengajuanku sebagai pengajar disetujui atau tidak.

Pagi – pagi sekali Budhe membangunkanku dan mengatakan padaku bahwa beliau tidak bisa mengantarku ke bandara siang ini. Ada reuni keluarga di Bandung katanya.

Pukul sembilan pagi aku berangkat ke bandara. Aku hanya diantar Pak Parto supir pribadi budhe. Sesampainya di bandara, segera kuurus semuanya dan berpamitan dengan Pak Parto. Perlahan kumasuki pintu pesawat. Perasaanku campur aduk, aku memang baru pertama kalinya naik pesawat. Aku sedih karena harus meninggalkan budhe, namun juga bahagia karena aku akan segera bertemu dengan Ibu dan Rini kakak perempuanku.

Aku sengaja untuk tidak mengabarkan kepulanganku, dengan maksud untuk memberi kejutan pada ibu. Perjalanan yang cukup panjang terasa singkat sekali. Kini aku telah sampai didepan pintu rumahku.

Perlahan kubuka pintu rumah. Kudapati ibu sedang membaca buku. Itulah kebiasaan ibu sejak aku kecil. Ibu mendekatiku dan memelukku sebentar sepertinya Ibu tidak pernah merindukanku. Padahal yang kuharapkan adalah pelukan ibu yang erat dan sebuah ciuman lembut dipipiku.

“Ah ……….sudahlah !” kataku dalam hati.

Bagaimana keadaan budhemu ?”

“Budhe sehat – sehat saja Bu ……..”

“Naik apa kamu Vin ?” tanya ibu padaku

“Pesawat Bu ……”

“Apa ? pesawat katamu ! kamu anggap mudah mencari uang ! seenaknya saja kau hamburkan uang ! kereta api sudah cukup bagi orang sekelas kita ! ibu membentakku keras.

“Budhe membelikan tiket untukku Bu ……”

“Sudah ! kau memang hobi merepotkan orang lain ya ……. ? kau tidak malu dengan budhemu ? ?

Aku hanya tertunduk dan diam, menyadari kesalahanku. Namun, ini bukan kali pertamanya aku mendapat marah dari ibu. Jangankan untuk tiket pesawat, ibu juga sering menegurku hanya gara – gara aku tidak makan dirumah dan menghabiskan uang jajanku untuk makan diluar.

Itulah ibu, yang sangat keras dalam mendidikku. Stelah ayah meninggal karena kecelakaan, ibu membesarkanku dan Rani seorang diri. Ibu hanya bekerja sebagai guru SD dengan gaji pas – pasan. Meskipun begitu ibu tetap mementingkan pendidikan kami. Kami hidup sederhana untuk membeli tas dan sepatu saja, aku harus memintanya jauh – jauh hari. Aku tak tega untuk meminta macam – macam kepada ibu. Aku masih ingat, saat aku menginginkan sebuah arloji, aku hanya bisa diam dan menyimpannya sendiri. Selain itu, ibu takkan membelikan kami uang lebih untuk hal – hal yang tak terlalu penting.

Aku dan Rini memang selalu berusaha mengikuti apa yang Ibu kehendaki, sejak kecil Ibu selalu menanamkan disiplin dan menjadi wanita tegar dan mandiri. Bahkan, kami tidak boleh menangis bila menghadapi apapun yang membuat kami sedih. Ibu akan membentak dan tidak memberi kami uang jajan sebagai hukuman. Dulu aku sering bersembunyi dibawah kolong tempat tidur karena takut ibu tahu bahwa aku menangis.

Aku merasa beruntung, karena ibu tidak pernah memaksaku dalam hal minat dan jalan hidup Rini lebih memilih untuk menjadi perawat dan aku memilih untuk menjadi pengajar.

B E R S A M B U N G

Label: ,