Cerita sebelumnya:
Kehidupan Tak Seindah Angan (2)
Cukup memakan waktu untuk meluluhkan hati Hervara sehingga dapat terbina keakraban meskipun hanya dengan perantara ponsel tersebut.
“Rara gimana sama Hernanda?”kata Lusia yang ingin menggoda sahabatnya itu sekaligus mengetahui respon Hervara.
“Gimana apanya, aku sama dia tidak pernah ketemu cuma sebatas teman curhat saja lewat ponsel.” Kata Hervara menegaskan. Tidak kalah uletnya, Lusia memberi dorongan serta saran-saran kepada Hervara untuk bertemu dengan Hernanda.
Segala macam bujuk rayu sahabat- sahabat gadis berkulit sawo matang tersebut akhirnya membuahkan hasil.
Di suatu malam sahabat-sahabat Hervara berkumpul di ruang tamu kosan bersamanya. Tanpa sepengetahuannya, Anggara dan yang lain merencanakan pertemuan antara Hervara dengan Hernanda.
Di situlah awal mula kisah kasih antara Hervara dan Hernanda bersemi. Awal mula yang sangat menyebalkan bagi sahabat-sahabatnya karena kedua insan ini sama-sama saling jual mahal hingga akhirnya Hernanda yang memulai pembicaraan.
“Dik Rara, kok diam saja dari tadi kenapa?” sapaan tersebut keluar dari mulut Hernanda. Meskipun hanya sebatas basa-basi, hal tersebut dapat melunakkan suasana yang sedikit kaku.
“Nggak kenapa-napa kok, cuma kaget saja tiba-tiba bisa berjumpa dengan mas” kata Hervara.
Dengan gaya saling malu-malu mereka berdua bercakap-cakap, sahabat-sahabat Hervara yang tahu momen yang indah tersebut membiarkan saja mereka berdua saling berbicara. Mereka berdua kelihatan sangat cocok sekali jika memang hubungan tersebut akan dilanjutkan.
Pertemuan pertama belum begitu menimbulkan kesan yang menyentuh hati.Hervara, lalu diikuti pertemuan-pertemuan selanjutnya yang mulai menambah keakraban kedua insan tersebut. Mereka saling bertukar pengalaman, berbagi cerita tentang kehidupannya sampai soal pribadinya.
Hingga pada suatu waktu yang sangat tepat dengan liburan di kampus Hervara, Hernanda mengajak Hervara untuk berlibur di kota kelahirannya yakni kota “pisang agung.”
“Dik Rara liburan penerimaan mahasiswa baru ya? Tanya Hernanda dengan sikap yang sedikit malu.
Hervara menjawab, ”Memang libur, tapi kenapa mas tanya hal itu?”
“Mas Nanda cuma mau ngajak adik liburan di kota kelahiranku, mau nggak?”
Karena waktunya sangat tepat Hervara pun tertarik untuk menikmati liburnya tersebut bersama sahabat-sahabatnya di kota “pisang agung.”
“Mau banget Mas, asal adik nggak ngrepotin saja nanti di sana.” Kesepakatan pun terjadi dan hal tersebut membuat hati Hernanda senang karena akhirnya pintu peluang untuk lebih mengetahui karakter Hervara terbuka lebar serta selalu mendapat dukungan dari sahabat yang lain.
Sebelum berangkat ke kota “pisang agung” rencana demi rencana telah dibuat untuk mengisi liburan tersebut.
Hari yang dinanti Hervara untuk berlibur pun tiba. Perjalanan di mulai dari kota “apel” dimana pada saat itu mendung menyelimuti daerah tersebut, tak dapat dielakkan hujan pun turun sedemikian derasnya sehingga memaksa serombongan anak muda ini untuk berteduh hingga hujan sedikit reda baru melanjutkan perjalannya menuju kota Pasuruan.
Tak disangka dan tak di duga ternyata di kota tersebut terjadi sebuah insiden berdarah, yakni insiden antara warga sipil dan anggota TNI yang dilatar belakangi masalah sengketa tanah. Masalah tersebut memanas dan membuat anggota TNI tidak dapat mengendalikan emosi dan akhirnya terjadi insiden salah sasaran penembakan terhadap warga sipil hingga memakan beberapa korban.
Insiden tersebut membuat perjalan rombongan pemuda ini terhambat karena mereka juga turut terjebak arus macet akibat pemblokiran jalan oleh warga sipil di kota Pasuruan.
Secara pelan-pelan perjalanan dilanjutkan melewati gang-gang kecil karena tidak ada akses jalan alternative lain untuk dapat sampai ke kota “pisang agung” selain berkorban dan bersabar melewati gang-gang kecil tersebut.
Setelah memakan waktu perjalanan kira-kira dua jam sampailah rombongan ini masuk kota Probolinggo, di sini perjalanan mulai lancar tapi lagi-lagi cuaca tidak mendukung.
“Wah, hujan mau turun lagi ini!” Seru Hervara.
Dan sudah bisa dibayangkan hujan turun begitu lebatnya, meskipun demikian perjalanan masih tetap dilanjutkan mengingat hari itu mulai malam karena terlalu lama berada di Pasuruan yang macet berkilo-kilometer. Hujan terus menerus setia menemani perjalanan para pemuda tersebut hingga pada sampai tujuan yang dituju.
Setibanya di rumah Hernanda, Hervara sudah hampir pingsan karena menahan hawa dingin yang membelenggunya.
“Hervara, kamu nggak apa-apakan?”
Sambil membopongnya kedalam dibantu Anggara, Hernanda tampak begitu cemas.
Dengan sigap bunda Hernanda yang bernama bunda Vatik langsung merawat Hervara dengan penuh kasih sayangnya sehingga sakit Hervara terobati.
“Sudah mas aku tidak kenapa-napa cuma masuk angin saja.” Hervara mencoba menenangkan Hernanda. Bunda Vatik mengamati kejadian tersebut dan menyimpulkan sendiri kalau putera semata wayangnya sedang tertarik dengan seorang gadis yang ada di hadapa beliau tersebut.
Sedangkan sahabat-sahabat yang lain berbenah diri. Bunda Vatik telah dari sore menyiapkan segala sesuatu untuk tamu-tamunya tersebut sehingga saat semua datang, beliau tidak kebingungan harus menyiapkan apa.
“Nanda, bantu Bunda dulu sebentar?” suara Bunda Vatik memanggil puteranya.
“Lusia saja bunda, Hernanda masih menemani Hervara.” Kata Lusia menyahut.
Di dapur Lusia membantu Bunda Vatik, di situlah Bunda Vatik bertanya pada Lusia “Apa Hernanda menyukai gadis tersebut?” Lusia pun menceritakan semua kepada Bunda Vatik.
Label: Cerpen, Kehidupan Tak Seindah Angan
Click for Komentar